Dulu sangat mudah menilai sesuatu, persepsi ini benar itu salah sangat mudah diambil tanpa mendalami alasan kenapa ini benar dan itu salah. Karena ini benar, maka itu salah. Titik. Semakin bertambah umur, masalah jadi lebih kompleks. Tidak ada lagi A salah B benar, atau B benar A salah. Mengapa? Karena kita mulai melihat dari dua sisi. Di antara banyak kesalahan pasti ada secercah kebenaran, begitu pula diantara banyak kebenaran terdapat goresan kesalahan.
Belakangan ini aku belajar banyak hal tentang menghakimi. Menjadi penengah diantara 2 pihak yang bermasalah membuat aku sadar kalau ada hal yang mendasari setiap tindakan manusia. Setiap orang benar menurut pemikirannya sendiri. Diantara kedua belah pihak tidak ada yang benar-benar salah dan tidak ada yang benar-benar benar. Semua bertindak benar dan salah. Awalnya membingungkan, seperti mengurai benang kusut. Rasanya ingin menyerah. "Udahlah, digunting aja." Tapi gunting tidak menyelesaikan masalah. Benangnya tetap kusut bahkan tidak lagi tersambung. Tapi pelan-pelan, setelah mendengar dan menilai dua sisi, yang diperlukan hanya pengertian dan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan. Kalau aku ingat lagi, aku bersyukur kepada Tuhan masalah itu sudah kita selesaikan dengan baik.
Selain itu, tahun ini suasana politik Indonesia sedang hangat dibicarakan. Apalagi kalau bukan pemilihan umum legislatif dan presiden. Sebagai pemilih pemula, tentu saja hal ini sangat menarik untuk dibicarakan. Sebelum pemilu presiden beredar banyak berita tentang kejelekan kedua pasangan capres dan cawapres. Rupanya Indonesia mulai menyadari kekuatan media dalam mempengaruhi opini publik. Ribuan akun palsu dibuat, berbagai tulisan di sosial media yang diragukan kebenaran dijadikan acuan. Sampai-sampai tidak bisa dibedakan mana yang benar mana yang salah. Kebenaran dilebih-lebihkan, kesalahan ditutup-tutupi. Pendukung pasangan nomor 1 hanya melihat kebaikan pasangan yang didukungnya, tidak peduli berbagai isu HAM dan kontra demokrasi yang ditujukan ke pasangan tersebut. Begitu pula pendukung pasangan nomor 2 yang sudah menggantungkan harapan besar, walaupun isu intervensi dari luar Indonesia berperan dalam pencalonan pasangan tersebut. Bahkan terlihat sekali ada dua televisi berita yang selama ini netral berubah mendukung masing-masing pasangan capres-cawapres. Aku tidak mengerti hukum, jadi tidak tau apakah hal itu dapat dibenarkan atau tidak. Jangan salahkan kami kalau kami sudah kehilangan kepercayaan pada kedua televisi tersebut.
Setelah pemilihan dilakukan dan hasil quick count muncul, kedua pasangan capres dan cawapres sama-sama menyatakan kemenangannya, tentunya disiarkan di kedua televisi yang mendukung masing-masing pasangan. Belum selesai sampai disini, tanggal 22 Juli, yang digadang-gadang menjadi puncak pemilu, salah satu pasangan tidak menerima hasil perhitungan KPU. Antiklimaks. Itu semacam naik roller coaster, sudah sampai di pintu keluar tapi tiba-tiba roller coasternya bergerak lagi. Puji Tuhan, tidak ada kericuhan atau demonstrasi yang diisukan terjadi setelah pengumuman hasil pemilu. Saat ini hasil pilpres masih diproses di Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada yang benar-benar salah. Pasti ada kecurangan yang dilakukan oleh kedua pasangan. Tapi ini bukan masalah hubungan antar manusia yang bisa diatasi dengan pengertian dan kerendahan hati. Ini masalah kalah dan menang. Menilai mana yang lebih benar diantara kubu yang salah. Hakim-hakim MK menurutku orang-orang yang keren karena bisa menilai hal itu. Jangan biarkan kami berpikir yang sebaliknya, Bapak dan Ibu Hakim.
Sesungguhnya kebenaran yang sempurna hanya milik Tuhan. Manusia, sesempurna apapun, tetaplah punya salah. Jadi hakim itu perkara yang sulit. Menghakimi itu mudah kalau kita hanya melihat dari satu sisi. Yang bijak adalah yang mampu menilai dari berbagai sisi.
Happy growing up!