Sudah bertahun-tahun lab IKA dikenal sebagai lab Ilmu Kesehatan Ambubag. Ambubag adalah alat bantu nafas, yang disambungkan dengan selang endotrakeal. Fungsinya untuk mempertahankan jalan nafas dan membantu pernapasan bila terjadi gagal nafas. Ambubag digunakan dengan cara dipompa dengan tangan, disebut juga bagging. Alat ini digunakan karena terbatasnya mesin ventilator dan berlimpahnya pasien anak dengan gagal nafas. Tanpa bantuan nafas lewat ambubag dan selang endotrakeal, bisa ditebak, pasien dapat meninggal dalam waktu beberapa menit.
Sejak berahun-tahun yang lalu, dokter muda yang masuk lab IKA hampir setiap hari berurusan dengan bagging. Bahkan bisa sampai seharian (saat stase dan saat jaga, kurang lebih bisa sampai 36 jam). Sudahlah, tidak usah dibahas bagging itu tugas siapa, maupun siapa yang mendapat uang jasa bagging. Membahas hal-hal tersebut hanya menimbulkan sakit hati.
Berita baiknya, semenjak bulan Agustus kemarin stase tersebut ditiadakan. Dengan demikian tugas bagging hanya dikerjakan dokter muda saat jaga.
Bekerja di ruang HCU anak cukup melelahkan, walaupun pasiennya cukup sedikit (bila penuh 11 pasien) dibandingkan HCU bedah (sekitar 30an pasien). Apalagi bila baggingan lebih dari 2 dan kondisi pasien banyak yang tidak stabil. Setiap jam memeriksa TTV, nebul, dan suction. Baru selesai cek TTV, nebul, dan suction untuk jam 7, jam sudah menunjukkan jam 8.
Sekian pengantarnya, sekarang masuk ke cerita utama. Hari sabtu kemarin jaga malam di HCU anak. Naik jaga udah ngantuk duluan, gegara sebelum jaga jalan-jalan ke MOG sampai jam 3. Baggingan ada 2, dokter mudanya 4. Jadi langsung bagi tugas bagging dan TTV dengan 3 teman lainnya. Aku kebagian bagging dulu. Pasien yang aku bagging anak laki-laki, sekitar 4 tahun, didiagnosa dengue shock syndrome (DSS), pasien demam berdarah yang sedang berada dalam fase kritis. Waktu bagging sambil ngantuk-ngantuk, tiba-tiba ibu pasien datang, dan berbisik ke anaknya. "B****, anakku sayang, cepat sembuh ya nak. Nanti ikut mama jalan-jalan. Yang kuat ya nak, B**** harus bertahan." Ehm, waktu dengar ibu itu ngomong gitu ngantuknya langsung hilang. Ya ampun, aku hampir-hampir lupa kalau anak yang aku bagging ini anaknya orang. Ada orang yang mengasihi dia, ada orang yang akan sangat bersedih bila dia meninggal. Dia anak seseorang. dia masa depan orang tuanya. Dia kebanggaan orang tuanya. Mungkin aku akan jauh lebih sedih dari ibu itu, bila yang terbaring sakit adalah anakku. Dan yang paling bikin nangis, dia mempercayakan hidup anaknya ke tangan seorang koass, seorang koass yang sudah lelah duluan melihat pasien HCU yang ramai dan banyak baggingan, seorang koas yang sering ketiduran waktu bagging, seorang sarjana kedokteran yang minim pengalaman dan pengetahuan. Di sisi lain, pasien DSS hanya butuh bertahan hidup (dan dipertahankan hidupnya oleh tenaga medis) setidaknya selama masa kritisnya, sekitar 48 jam. Saja. Apabila telah melewati masa kritis, bisa dipastikan prognosisnya baik.
Ada lagi pasien lain, bayi laki-laki, dengan gagal jantung karena penyakit jantung bawaan asianotik. Anak ini merupakan anak ketiga. Awalnya pasien terlihat sesak dan sering berhenti saat menyusu. Ibu pasien sudah mengeluhkan sesak pasien ke seorang tenaga kesehatan, namun tenaga kesehatan tersebut terlambat menyadari. Akibatnya pasien terlambat ditangani dan jatuh ke kondisi gagal jantung. "Saya dirujuk kesini dari RS Miriam karena disana alatnya enggak ada. Tapi sampai disini alatnya juga dipakai semua, jadi katanya napasnya mau dibantu manual. Saya enggak ngerti manual itu gimana, tapi nekat aja. Ya ternyata manual itu kayak gini, dipompa pakai tangan. Duh mbak, kemarin itu sering biru, apalagi kalau nangis. Saya pikir emang kayak gini kulitnya, emang jadi tambah hitam. Ternyata biru. Sekarang udah merah saya senang." Pasien ini sadar, bergerak-gerak, kadang bernapas spontan, kadang lupa bernapas. Diakhir jam jaga, tiba-tiba pasien ini arrest. Eman, sudah di bagging semalaman, gak lucu kalau dibungkus. Apalagi setelah tadi sempat ngobrol sama ibunya. Langsung di RJP sama PPDS dan manggil ibu pasien. Deg-degan waktu proses RJP. Duh jangan sampai dibungkus (a.k.a meninggal), jangan sampai pergi dulu please. Apalagi waktu lihat ibunya sudah nangis-nangis. Pengalaman sebelumnya di lab Bedah, kalau sudah di RJP berarti kemungkinan besar bungkus. Eh beberapa menit kemudian saturasi O2 nya naik jadi 90, dan beberapa detik setelahnya mata pasien ketap-ketip dan badannya gerak-gerak. Dek, dek, kamu bikin khawatir saja.
Jaga HCU anak memang melelahkan, tapi aku bersyukur bisa belajar banyak. Waktu yang berlalu tak akan sia-sia, karena kita belajar sesuatu :)