Minggu, Desember 27, 2015

Menghakimi

Beberapa hari terakhir ini aku sedang banyak belajar tentang menghakimi. Aku tau menghakimi itu haknya Bapa, bukan manusia. Tapi hak itu malah aku ambil sesuka hati. Sesederhana bilang 'otak sapotong' (otak sepotong ~ berpikiran pendek) saat ada orang yang berkendara dengan cara yang (menurutku) tidak benar, atau saat menjudge rekan sejawat patol maupun fisiol.
Aku suka menghakimi, tapi tidak suka dihakimi. Malahan aku orang yang paling sensitif bila dibicarakan orang. Aku takut mendengar bagaimana aku dalam sudut pandang orang lain. Aku takut bila dalam pandangan mereka aku tidak baik. Aku takut bila mereka membahas hal-hal buruk yang aku lakukan, baik yang aku sadari maupun tidak. Sensitif. Tya sangat sensitif.
Contohnya saat beberapa hari yang lalu aku melakukan kesalahan yang cukup fatal, sangat fatal hingga membuatku menjadi potential-public-enemy. Aku takut. Takut sekali. Bodohnya aku. Aku sudah berjanji dalam hatiku, jadi patol atau fisiol itu pilihan, tapi tidak membunuh teman itu kewajiban. Tapi janji itu aku langgar sendiri.
Tanpa sadar aku menghakimi diriku sendiri. Kenapa zona wernicke Tya seakan tidak terhubung dengan mulut? Kenapa aku tidak pernah melakukan hal yang benar? Bagaimana kalau Tya jadi public enemy? Bagaimana kalau Tya jadi bahan pembicaraan semua koass, mengingat tembok RSSA bisa berbicara? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Dan berjuta-juta 'bagaimana kalau..' lainnya, which activated my simpathetic nerves. Tidak bisa tidur dan belajar beberapa hari. Walaupun sudah meminta maaf sesaat setelah melakukan kesalahan tersebut dan beberapa MPE penebusan lainnya, namun perasaan masih saja belum bisa tenang.
The reality is, kebanyakan kekhawatiran tidak terjadi. Di saat itu, aku melihat lagi ke dalam diriku. Tya, mengapa kamu jadi orang yang sangat menyedihkan? Mengapa harus terlarut dalam kesedihan selama ini?
Perlahan aku mencoba untuk memaafkan diriku. Iya kamu salah dulu. Tapi itu dulu. Jangan sampai masa depanmu dinodai oleh masa lalumu. Hari itu aku bangun dengan perasaan yang sangat lega. Seakan terlepas dari penjara intimidasi. Sangat ringan. Walaupun aku tahu, segala sesuatu tidak akan kembali seperti sedia kala.
Aku juga belajar, betapa tidak menyenangkannya dicap oleh orang lain, apalagi kalau dicap untuk sesuatu yang buruk. Aku juga sering menghakimi orang lain. Seperti 'otak sapotong', 'patol', 'jelek', 'bodok', dll. Padahal aku sendiri tidak suka dihakimi. Kesalahan yang aku lakukan membuat aku belajar. Sangat tidak menyenangkan jadi orang yang dihakimi, apalagi dihakimi oleh pihak yang tidak seharusnya. Sangat menyakitkan hati. Seakan Bapa mau bilang, 'kalau tidak mau dihakimi, jangan hakimi orang lain juga.'