Minggu, Desember 27, 2015

Stars

Dari dulu aku suka melihat bintang. Entah bagaimana awalnya. Yang aku ingat dulu sewaktu ikut OSN SMP 2008 dan OSN SMA 2010 milihnya pelajaran antimainstream, Astronomi. Tau saja di Kupang jaman jahilya saat itu, boro-boro guru astronomi seperti di Bandung atau kota lain di Jawa, soal olimpiade tingkat provinsi saja pernah dibahas dengan cara mencari jawaban terbanyak, bukan terbenar. Itu nyata, dan aku ada disana.
Modalku ikut OSN astronomi hanya kumpulan booklet Majalah Bobo tentang astronomi, dan sedikit soal-soal astronomi hasil browsingan di internet (walaupun 99% soal tersebut tidak dipahami juga). Sempat install software khusus astronomi juga, namanya Stellarium. Hasilnya? Tidak begitu memuaskan, tapi tidak buruk juga.
Aku suka memandangi bintang-bintang. Kadang berusaha untuk menghafal beberapa rasi bintang dan nama beberapa bintang. Tapi sekarang sudah lupa lagi. Rasi yang paling diingat Orion karena iklan D*ncow, Crux karena paling gampang dan selalu menunjuk arah selatan, dan Scorpio karena identik dengan bulan November.  Kadang berharap melihat komet atau asteroid yang masuk ke atmosfer bumi, atau ISS yang kebetulan lewat di langit Kupang.
Saking senangnya melihat bintang, dulu sampai gunting-gunting hiasan glow in the dark jadi puluhan, mungkin ratusan, potongan kecil (dan itu kerasnya bukan main). Potongan-potongan itu lalu ditempelin ke kertas minyak, dan kertasnya ditempel ke langit-langit kamar. Jadi setiap mau tidur bisa seakan melihat langit malam di dalam kamar. Rasanya hangat dan menenangkan. Ya, bahagia itu sederhana.
Dan sekarang, LAPAN berencana untuk membangun observatorium nasional di Kupang. Iya di KUPANG! Semua orang yang tertarik ilmu astronomi pasti pengen ke Bosscha di Bandung. Termasuk aku. Tapi sampai detik ini belum pernah ke sana. Waktu tahu kalau di Kupang mau dibangun observatorium, i am super duper exciteddd! You've chosen the right place, Sir!

Menghakimi

Beberapa hari terakhir ini aku sedang banyak belajar tentang menghakimi. Aku tau menghakimi itu haknya Bapa, bukan manusia. Tapi hak itu malah aku ambil sesuka hati. Sesederhana bilang 'otak sapotong' (otak sepotong ~ berpikiran pendek) saat ada orang yang berkendara dengan cara yang (menurutku) tidak benar, atau saat menjudge rekan sejawat patol maupun fisiol.
Aku suka menghakimi, tapi tidak suka dihakimi. Malahan aku orang yang paling sensitif bila dibicarakan orang. Aku takut mendengar bagaimana aku dalam sudut pandang orang lain. Aku takut bila dalam pandangan mereka aku tidak baik. Aku takut bila mereka membahas hal-hal buruk yang aku lakukan, baik yang aku sadari maupun tidak. Sensitif. Tya sangat sensitif.
Contohnya saat beberapa hari yang lalu aku melakukan kesalahan yang cukup fatal, sangat fatal hingga membuatku menjadi potential-public-enemy. Aku takut. Takut sekali. Bodohnya aku. Aku sudah berjanji dalam hatiku, jadi patol atau fisiol itu pilihan, tapi tidak membunuh teman itu kewajiban. Tapi janji itu aku langgar sendiri.
Tanpa sadar aku menghakimi diriku sendiri. Kenapa zona wernicke Tya seakan tidak terhubung dengan mulut? Kenapa aku tidak pernah melakukan hal yang benar? Bagaimana kalau Tya jadi public enemy? Bagaimana kalau Tya jadi bahan pembicaraan semua koass, mengingat tembok RSSA bisa berbicara? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Dan berjuta-juta 'bagaimana kalau..' lainnya, which activated my simpathetic nerves. Tidak bisa tidur dan belajar beberapa hari. Walaupun sudah meminta maaf sesaat setelah melakukan kesalahan tersebut dan beberapa MPE penebusan lainnya, namun perasaan masih saja belum bisa tenang.
The reality is, kebanyakan kekhawatiran tidak terjadi. Di saat itu, aku melihat lagi ke dalam diriku. Tya, mengapa kamu jadi orang yang sangat menyedihkan? Mengapa harus terlarut dalam kesedihan selama ini?
Perlahan aku mencoba untuk memaafkan diriku. Iya kamu salah dulu. Tapi itu dulu. Jangan sampai masa depanmu dinodai oleh masa lalumu. Hari itu aku bangun dengan perasaan yang sangat lega. Seakan terlepas dari penjara intimidasi. Sangat ringan. Walaupun aku tahu, segala sesuatu tidak akan kembali seperti sedia kala.
Aku juga belajar, betapa tidak menyenangkannya dicap oleh orang lain, apalagi kalau dicap untuk sesuatu yang buruk. Aku juga sering menghakimi orang lain. Seperti 'otak sapotong', 'patol', 'jelek', 'bodok', dll. Padahal aku sendiri tidak suka dihakimi. Kesalahan yang aku lakukan membuat aku belajar. Sangat tidak menyenangkan jadi orang yang dihakimi, apalagi dihakimi oleh pihak yang tidak seharusnya. Sangat menyakitkan hati. Seakan Bapa mau bilang, 'kalau tidak mau dihakimi, jangan hakimi orang lain juga.'

Rabu, Desember 09, 2015

Maaf

Selalu ada cerita baru setelah jaga HCU anak. Kali ini muncul dilema.
Pasien berusia 3 bulan, telah berminggu-minggu dirawat di HCU anak RSSA atas indikasi PJB asianotik dan gagal jantung. Pasien ini pernah aku ceritakan di postingan sebelumnya. Kali ini ceritanya berbeda. Saat aku mengukur TTV, seorang perawat tengah menginformasikan suatu hal kepada ibu pasien ini. Samar-samar terdengar masalah pembiayaan pengobatan pasien. Waktu aku TTV, ibu ini menangis. Kondisi pasien saat itu sudah cukup stabil, dengan saturasi yang cukup tinggi dan menggunakan alat bantu napas non-rebreathing mask (NRBM). Aku sedih. Sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku membayangkan hal-hal yang mungkin terlintas di pikiran ibu tersebut. Tidak mungkin ibu tersebut tega membiarkan semua alat bantu hidup dilepaskan dan membiarkan anaknya meninggal karena hipoksia. Namun mempertahankan hidup dengan bantuan berbagai macam alat kedokteran juga bukan tanpa resiko dan pilihan yang murah. Apalagi pasien ini adalah pasien umum.
Tidak begitu lama setelah aku TTV, datang PPDS bedah. Ternyata pasien ini dikonsulkan ke Lab Bedah untuk pemasangan WSD, atas indikasi pneumothoraks di paru kanan. Pneumothoraks itu resiko tindakan bagging. Selang 1-2 jam setelah pemasangan WSD, tiba-tiba pasien mengalami desaturasi. Waktu aku perkusi, dada kanannya hipersonor. Bad feeling. WSD tidak paten. Aku cek WSD nya, cairannya masih naik turun. Tapi pasien biru, dengan saturasi O2 antara 30-50%. Ibunya sudah nangis-nangis. Akhirnya pasang ETT lagi. Bagging lagi. Tapi karena pasiennya benar-benar kritis, yang bagging langsung PPDS. Itupun saturasi O2nya berkisar di angka 40-50%. Setelah berbagai macam usaha, akhirnya tengah malam pasien meninggal. Sedih. Aku tahu prognosis pasien ini sudah dubia ad malam. Yang bikin paling sedih itu sebelum pulang, ibu pasien salaman sama semua orang di HCU. Termasuk mbak dokter muda Tya.

Oke aku mau pengakuan dosa. Bu, maafkan DM Tya yang lupa TTV setelah pemasangan WSD. Maafkan DM Tya yang malas TTV tiap jam, karena berpikiran setelah dipasangi WSD pasien akan baik-baik saja. Walaupun aku juga tidak tau apakah prognosisnya semakin membaik bila diketahui lebih cepat. Tapi setidaknya bertahanlah selama jam jagaku dek..

Senin, Desember 07, 2015

Koass pun pasti berlalu

Kamu boleh ngantuk. Kamu boleh dehidrasi. Kamu boleh hipoglikemia. Kaki dan tanganmu boleh pegel.
Tapi kamu enggak boleh ngeluh.
Karena malam-malam yang melelahkan ini mungkin akan menjadi malam yang sangat kamu rindukan nanti.
Ya, aku mau memilih untuk menikmati setiap langkah.
Aku suka berjalan menggunakan sendal jepit di rumah sakit ketika bekerja di waktu jaga.
Aku suka berjalan sendiri di lorong RSSA di tengah malam saat mengantar konsulan ke lab lain. Sambil terkadang mencuri pandang ke langit malam untuk melihat bintang atau bulan.
Aku suka priviledge yang aku dapat hanya dengan menggunakan jas lab atau baju jaga dan name tag dokter muda. Aku bisa berjalan ke sudut manapun di rumah sakit tanpa takut dianggap aneh atau ditahan satpam.
Aku suka saat aku dipanggil dengan panggilan yang benar. Terima kasih RSSA untuk pin dokter muda-nya.
Karena koass pun pasti berlalu. Dan aku tidak menyesal, karena aku telah menjalaninya dengan sebaik-baiknya.

Selasa, Desember 01, 2015

Wasn't waste of time

Sudah bertahun-tahun lab IKA dikenal sebagai lab Ilmu Kesehatan Ambubag. Ambubag adalah alat bantu nafas, yang disambungkan dengan selang endotrakeal. Fungsinya untuk mempertahankan jalan nafas dan membantu pernapasan bila terjadi gagal nafas. Ambubag digunakan dengan cara dipompa dengan tangan, disebut juga bagging. Alat ini digunakan karena terbatasnya mesin ventilator dan berlimpahnya pasien anak dengan gagal nafas. Tanpa bantuan nafas lewat ambubag dan selang endotrakeal, bisa ditebak, pasien dapat meninggal dalam waktu beberapa menit.

Sejak berahun-tahun yang lalu, dokter muda yang masuk lab IKA hampir setiap hari berurusan dengan bagging. Bahkan bisa sampai seharian (saat stase dan saat jaga, kurang lebih bisa sampai 36 jam). Sudahlah, tidak usah dibahas bagging itu tugas siapa, maupun siapa yang mendapat uang jasa bagging. Membahas hal-hal tersebut hanya menimbulkan sakit hati.
Berita baiknya, semenjak bulan Agustus kemarin stase tersebut ditiadakan. Dengan demikian tugas bagging hanya dikerjakan dokter muda saat jaga.
Bekerja di ruang HCU anak cukup melelahkan, walaupun pasiennya cukup sedikit (bila penuh 11 pasien) dibandingkan HCU bedah (sekitar 30an pasien). Apalagi bila baggingan lebih dari 2 dan kondisi pasien banyak yang tidak stabil. Setiap jam memeriksa TTV, nebul, dan suction. Baru selesai cek TTV, nebul, dan suction untuk jam 7, jam sudah menunjukkan jam 8.

Sekian pengantarnya, sekarang masuk ke cerita utama. Hari sabtu kemarin jaga malam di HCU anak. Naik jaga udah ngantuk duluan, gegara sebelum jaga jalan-jalan ke MOG sampai jam 3. Baggingan ada 2, dokter mudanya 4. Jadi langsung bagi tugas bagging dan TTV dengan 3 teman lainnya. Aku kebagian bagging dulu. Pasien yang aku bagging anak laki-laki, sekitar 4 tahun, didiagnosa dengue shock syndrome (DSS), pasien demam berdarah yang sedang berada dalam fase kritis. Waktu bagging sambil ngantuk-ngantuk, tiba-tiba ibu pasien datang, dan berbisik ke anaknya. "B****, anakku sayang, cepat sembuh ya nak. Nanti ikut mama jalan-jalan. Yang kuat ya nak, B**** harus bertahan." Ehm, waktu dengar ibu itu ngomong gitu ngantuknya langsung hilang. Ya ampun, aku hampir-hampir lupa kalau anak yang aku bagging ini anaknya orang. Ada orang yang mengasihi dia, ada orang yang akan sangat bersedih bila dia meninggal. Dia anak seseorang. dia masa depan orang tuanya. Dia kebanggaan orang tuanya. Mungkin aku akan jauh lebih sedih dari ibu itu, bila yang terbaring sakit adalah anakku. Dan yang paling bikin nangis, dia mempercayakan hidup anaknya ke tangan seorang koass, seorang koass yang sudah lelah duluan melihat pasien HCU yang ramai dan banyak baggingan, seorang koas yang sering ketiduran waktu bagging, seorang sarjana kedokteran yang minim pengalaman dan pengetahuan. Di sisi lain, pasien DSS hanya butuh bertahan hidup (dan dipertahankan hidupnya oleh tenaga medis) setidaknya selama masa kritisnya, sekitar 48 jam. Saja. Apabila telah melewati masa kritis, bisa dipastikan prognosisnya baik.
Ada lagi pasien lain, bayi laki-laki, dengan gagal jantung karena penyakit jantung bawaan asianotik. Anak ini merupakan anak ketiga. Awalnya pasien terlihat sesak dan sering berhenti saat menyusu. Ibu pasien sudah mengeluhkan sesak pasien ke seorang tenaga kesehatan, namun tenaga kesehatan tersebut terlambat menyadari. Akibatnya pasien terlambat ditangani dan jatuh ke kondisi gagal jantung. "Saya dirujuk kesini dari RS Miriam karena disana alatnya enggak ada. Tapi sampai disini alatnya juga dipakai semua, jadi katanya napasnya mau dibantu manual. Saya enggak ngerti manual itu gimana, tapi nekat aja. Ya ternyata manual itu kayak gini, dipompa pakai tangan. Duh mbak, kemarin itu sering biru, apalagi kalau nangis. Saya pikir emang kayak gini kulitnya, emang jadi tambah hitam. Ternyata biru. Sekarang udah merah saya senang." Pasien ini sadar, bergerak-gerak, kadang bernapas spontan, kadang lupa bernapas. Diakhir jam jaga, tiba-tiba pasien ini arrest. Eman, sudah di bagging semalaman, gak lucu kalau dibungkus. Apalagi setelah tadi sempat ngobrol sama ibunya. Langsung di RJP sama PPDS dan manggil ibu pasien. Deg-degan waktu proses RJP. Duh jangan sampai dibungkus (a.k.a meninggal), jangan sampai pergi dulu please. Apalagi waktu lihat ibunya sudah nangis-nangis. Pengalaman sebelumnya di lab Bedah, kalau sudah di RJP berarti kemungkinan besar bungkus. Eh beberapa menit kemudian saturasi O2 nya naik jadi 90, dan beberapa detik setelahnya mata pasien ketap-ketip dan badannya gerak-gerak. Dek, dek, kamu bikin khawatir saja.

Jaga HCU anak memang melelahkan, tapi aku bersyukur bisa belajar banyak. Waktu yang berlalu tak akan sia-sia, karena kita belajar sesuatu :)