Minggu, Oktober 26, 2014

Duri dalam Daging (Bagian Pertama)



Menulis tentang duri dalam daging jujur sangat sulit dan menyiksa batin. Bertahun-tahun aku enggak percaya diri sama gigiku yang enggak teratur. Sebenarnya cuma satu sih, tapi itu gigi seri kanan atas. Gigi yang paling terlihat. Masa remajaku diwarnai dengan ketidak-percaya-dirian ini.
Kadang aku menyesali, kenapa waktu kecil suka sekali nge-dot. Haha, dot selalu jadi kambing hitam. Walaupun begitu aku bersyukur tidak pernah diejek di sekolah secara langsung tentang penampilanku, karena aku berusaha untuk menonjolkan diri dalam bidang akademis.
Tapi tetap saja duri itu masih melekat. Bahkan semakin dalam tertanam dalam hati. Secara enggak sadar, aku jadi sangat sensitif kalau mendengar kata "gigi". Mungkin itu juga alasan kenapa aku sama sekali enggak tertarik masuk FKG, padahal berdasarkan tes sidik jari teknik gerakanku salah satu yang dominan.
Dulu sempat juga terpikir, mungkin karena ini enggak ada cowok yang nembak aku. Hahaha. Akhirnya aku sadar, Tuhan pengen aku memfokuskan diri untuk membangun karakterku dibandingkan menghias penampilan fisikku.
Sudah sejak awal masuk SMA, akhir tahun 2009, aku minta papa mama untuk pasang kawat gigi. Tapi berhubung di Kupang belum ada dokter gigi spesialis orthodontist jadi mama bilang pasang di Surabaya saja. Waktu itu pengetahuan tentang kawat gigi yang aku punya masih nol besar. Alhasil waktu liburan natal ke Surabaya dan nanya ke dokter gigi baru tau kalau masang kawat gigi itu kontrolnya 2 minggu sekali. Ya kali aku pulang pergi Kupang-Surabaya-Kupang tiap 2 minggu. Kenyataan itu buat aku pasrah nunggu sampai lulus SMA dan kuliah di Surabaya/Malang.
Setelah lulus SMA dan mulai masuk kuliah, kebetulan waktu itu mama sedang ada masalah di kantor. Dan aku enggak berani minta ke papa setelah kejadian Chacha. (boleh banget dibaca disini) Aku takut kawat gigiku berakhir seperti Chacha yang tidak berumur panjang ditanganku. Hanya gara-gara keputusanku yang terlalu gegabah dan egois.
Dan sampai saat ini waktunya tidak pernah tepat. Aku sadar aku masih punya kakak dan adik-adik yang masih sekolah dan dibiayai orang tua. Aku enggak boleh egois.
Enggak terasa 3 tahun di Malang berlalu dengan sangat cepat. Karena awal tahun ini sudah mengurus permintaan beasiswa ke Dinkes Provinsi NTT, bulan ini beasiswanya cair. Sebelumnya aku enggak pernah kepikiran untuk pasang kawat gigi dengan uang beasiswa. Tapi aku tiba-tiba sadar, waktuku di Pulau Jawa tinggal 2,5 tahun lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi mau pasang kawat gigi? Sementara di Kupang sampai sekarang masih belum ada spesialis orthodontist. Mulailah duri dalam daging ter-reaktivasi lagi. Di satu sisi, it is now or never. Di sisi lain, aku sudah terbiasa dapat jawaban tidak. Aku takut terlalu gegabah mengambil keputusan.
The saddest thing is I cant tell anyone. Aku tipe orang yg hanya menceritakan sesuatu kalau aku tau orang itu pasti mengerti. Yes, I had a trust issue. Nangis-nangis bombay pagi siang malam, padahal kuliah masih ada beberapa skill lab sebelum ujian. Tapi untung waktu itu mau ujian jadi dikira teman-teman begadang buat belajar. Haha
Akhirnya aku putusin untuk cerita ke mama. Pelan-pelan mulai terbuka dan jadi lebih tenang. Waktu tulisan ini dibuat, aku sudah ketemu spesialis orthodontist sekali. Dokter itu temannya tante, wishing i'll get some discount.
Anyway, 2 tahun lalu telunjuk tangan kiriku pernah kemasukan duri kaktus gara-gara enggak merhatiin jalan. Waktu itu lagi ikut camp, yang mana peralatannya terbatas. Bermodalkan anastesi air dingin dan jarum infus, jariku dikorek-korek untuk ngeluarin duri itu. Durinya masuk agak dalam, jadi lumayan sulit dikeluarkan. Setelah diobok-obok selama setengah jam, akhirnya durinya keluar. Mungkin sekarang durinya sudah dikeluarkan. Tapi waktu duri itu diambil bukankah jaringan sekitarnya terluka lagi? Penyembuhan tetap butuh waktu. But I know, I'll be heal. SOON!