Tampilkan postingan dengan label Dokter Muda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dokter Muda. Tampilkan semua postingan

Jumat, September 15, 2017

Koass Anestesi

Pas jaga anestesi IGD, ada satu anak perempuan, umurnya kira-kira 4-5 tahun. Post KLL, keserimpet motor pas nyebrang jalan. Untung cuma vulnus laseratum di mulutnya. TTV dan pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Terapinya, lukanya di hecting. Karena masih kecil jadinya anak itu mesti di sedasi. Biar ngurangi nyeri dan ngurangi trauma juga.

Dari awal pas aku anamnesa pre tindakan juga anaknya diem sih, tapi enggak nangis juga. Mungkin karena lukanya di bibir makanya enggak mau ngomong.
Pas mau mulai tindakan udah was-was. Sapa tau tiba-tiba 'meledak'. Disedasi dulu pake midazolam. Terus di AP sama PPDS buat observasi sapa tau desaturasi. Aku sih seneng-seneng aja disuruh observasi, secara koass anestesi itu nganggur buanget di IGD. Hahaha. Udah jarang di AP sama PPDS anestesi, baju jaganya beda, jadi enggak dikira koass jaga lab lain, kasus emergensi juga udah dipegang sama EM. Paling kerjaan pas jaga cuma duduk-duduk, kalo PPDS berdiri mau ngeKIE pasien per-op kita ikutan, muter-muter IGD gajelas, nontonin koass lain, ngerumpi, terus dinihari bobok di kamsen.
Oke enggak penting ya. Pengen cerita aja sih. Yaudah gausah dibaca juga enggak apa-apa. Eh udah kadung dibaca ya. Maaf ya.
Oke lanjut. Jadi pasien ini lovely banget. Sepanjang tindakan dia diem, nurut, enggak nunjukin ekspresi kesakitan sama sekali. Gatau emang anaknya yang amat penurut atau efek obat.
Seneng deh dapet pasien kayak gini. Makasih ya bu enggak nakut-nakutin anaknya pakai dokter/disuntik, karena tujuannya pengobatan yang sakit itu buat mempercepat kesembuhan #aseeeg

Makasih ya pak, bu, sudah bener ngajarin anaknya.

Makasih ya dek gak nangis jejeritan waktu diperiksa dan pas dijahit lukanya.

Makasih anestesi, lab penutup yang paling menyenangkan, walaupun lab kecil tapi rasa lab besar karena megang IGD, ICU, dan OK. Cocok banget buat yang introvert, tapi pengen megang kendali, hahahahaa.
Atmosfir labnya adem, menenangkan, dan sangat mendukung untuk belajar walaupun PPDSnya banyak yang jaga ding dong ding dong.
Makasih juga untuk kesempatan naik OK setiap hari sampe bosen, secara pas bedah juarang banget naik OK. Yasudahlah.
Makasih juga buat jaga-malam-tapi-tidur-kamsen-atau-di-RR.

Selasa, Juli 04, 2017

Negal

Ada ts yg bertanya. Bagaimana tanggapan dokter?

Min tolong jelasin min..aturan dokter pengganti itu gimana seharusnya? Syaratnya apa? Kok skrng sedih bngt lihat adik2 tingkat yg masih koas/nunggu iship/atau bahkan lg ishi yg notabene nya belum punya STR SIP sudah berani jaga klinik dokter?
Apakah itu melanggar etik sumpah dokter?

Mohon dibahas please atau buka forum di home timeline nya..makasih
Disalin dari postingan di satu grup line. Tanggal 4 Juli 2017.

Negal (ne-gal)
(v)
istilah yang digunakan untuk tindakan seorang mahasiswa kedokteran tahap klinik (koass) maupun dokter internship yang berpraktek diluar klinik/rumah sakit diluar rumah sakit pendidikan yang seharusnya, baik untuk imbalan uang maupun imbalan ilmu.
Sinonim: ngamen; macul; dll.

Negal. Satu kata yang mungkin enggak bakal habis dibahas dalam forum kedokteran. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang negal hampir setiap hari, ada yang anti banget negal. Praktek ini sudah dilakukan bertahun-tahun, entah sejak kapan. Sejujurnya, ditinjau dari peraturan yang ada saat ini, negal itu ilegal. Namun tak pernah terdengar protes atau larangan tegas dari senior-senior. Hanya bisik-bisik, kalau mau negal hati-hati. Bahkan beberapa senior membuka tempat praktek mereka menjadi tempat negal. Di sisi lain, waktu pengangguran yang panjang dari selesai koass ke UKMPPD, serta pengumuman UKMPPD ke penerimaan internship, cukup membuat hati gatal.
Misalnya, saat baksos, ditanya oleh pasien:
"Dokter praktek dimana?"
Oh saya belum praktek bu. Saya masih nunggu pengumuman internship.
Atau saat acara reuni keluarga:
"Halo, lama ya ga ketemu tante, gimana koassnya udah selesai?
Iya tante, puji Tuhan udah selesai..
"Terus sekarang praktek dimana?"
Masih belum tante, masih harus ujian nasional dulu bulan depan.
Atau saat sudah terbiasa 'sibuk' waktu koass. Sekalinya dapet liburan p(uaaaa)anjang habis koass bingung mau ngapain. Dagang ga bakat, mau magang bantuin penelitian dosen otak enggak sanggup. Daripada nganggur, negal boleh juga.
Atau saat menjelang internship, dan kamu sadar selama ini kamu terlalu terlena dengan liburan, dan lupa hampir semua dosis obat. Remember, first impression matters. Ga mau kan dipandang sebelah mata sama tenaga medis lain karena bodoh banget. Apalagi kalo kebagian IGD duluan. Mending negal buat latihan jaga pas internship.
Atau saat saldo rekening sudah tipis. Dan kamu merasa umurmu sudah terlalu tua untuk meminta uang ke orang tua. Mending negal daripada enggak makan hari ini.
Atau saat ditelpon:
"Kakak, maaf ya uang bulanan buat kakak papa pake buat bayar biaya kuliah adik ya. Kakak udah dapat uang kan dari praktek di klinik?"

Aku ada di lingkungan dimana 'negal itu enggak apa-apa, asal tau batasan diri sendiri'.
Kalo baru pertama kali negal ya jangan langsung negal di IGD broo, carilah klinik-klinik kecil yang pasiennya 1-2 perkali jaga. Kalau sudah terbiasa, baru pelan-pelan jaga klinik yang lebih ramai. Jangan lupa belajar dulu sebelum jaga. Karena jaga tanpa belajar sama kayak pergi berperang tanpa bawa pelindung dan senjata.

Buat pasien (atau calon pasien), jangan takut kalau mau berobat ke klinik-klinik kecil yang dokternya masih (terlihat) muda. Tenang saja, dokternya pasti belajar dulu kok. Kita tahu, pekerjaan kita berurusan dengan nyawa. Tidak mungkin kita nekat negal tanpa pegangan ilmu yang kuat. Asal tau saja, kalaupun berobat ke puskesmas, yang meriksa dan ngasi obat di poli bisa saja perawat. Yha. Puskesmasnya di kota Malang lho, kota nomer 2 di Jawa Timur. Apalagi di kota-kota lain yang lebih kecil dari Malang. Bukannya membenarkan negal. Tapi lihat fakta yang ada. Indonesia masih kurang tenaga dokter, terutama dokter umum. Sementara dokter umumnya pengen ngambil spesialis. Yang di layanan primer siapa dong? Bukankah lebih baik bila kita bekerja sesuai tupoksi masing-masing? Dokter menjadi dokter, bidan menjadi bidan, perawat menjadi perawat, pengobat tradisional menjadi pengobat tradisional?

Bagi dokter-dokter (masih) muda ini, negal sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan klinis. Ya, semakin tinggi paparan kasus memang meningkatkan skill dan ketajaman diagnosis. We grow by learning. Semakin sering lihat pasien, semakin sering ngeresepin obat, kita jadi semakin terampil.

Untuk pelaku negal, mungkin akan lebih aman bila negal dilakukan setelah lulus UKMPPD. Setidaknya bila tiba-tiba disidak Dinkes, kita bisa nunjukkin bukti kalau udah lulus UKMPPD dan udah sah disebut teman sejawat. Kan harus memperlakukan teman sejawat seperti diri sendiri ingin diperlakukan. Yakan?

Sekian.
Btk.

Jumat, Juni 09, 2017

Kebodohan-2 : Buffalo Hump ?

Pada suatu hari yang cerah, datanglah seorang ibu, berusia 30-40 tahun ke puskesmas. Pasien datang dengan keluhan muncul benjolan yang berwarna kehitaman di tengkuknya. Pasien ini dibilang tetangganya, 'jangan-jangan kamu kena kencing manis', jadi dia pergi memeriksakan diri ke puskesmas. Dokter mudanya bingung, mau didiagnosis tinea tapi kok ada benjolannya. Mau didiagnosis lipoma tapi kok batasnya enggak tegas. Mau dibilang acanthosis nigricans tapi kok ada benjolannya.
Akhirnya dokter muda tersebut konsul ke dokter fungsional. Kelihatannya sih dokter fungsionalnya juga bingung. Dan dokter muda itu lupa bagaimana nasib pasien itu selanjutnya. Kayaknya sih dirujuk. Ah lupa.
#antiklimaks

Dan beberapa bulan kemudian, dokter muda tersebut sedang mempersiapkan diri untuk ujian nasional.
'Jadi tandanya cushing syndrome itu ada moon face, buffalo hump.... eh buffalo hump itu bentuknya kayak gimana sih?'
Lalu googling.
'Asem. Ini persis pasienku dulu pas di puskesmas. Dan waktu itu aku gatau ini apa. Aku juga enggak nanya kebiasaan konsumsi obat atau minum jamu..'

Kzl

Yah namanya juga proses belajar.

Senin, Mei 29, 2017

Kebodohan-1

Ini ceritanya udah lama sih. Dan setiap kali diingat mesti malu banget. Buanget.
Alkisah di suatu puskesmas di kota Malang, saat aku stase IGD, datanglah seorang anak laki-laki berusia 2-3 tahun dibawa mama papa dan tantenya. Pasien dibawa karena preputiumnya tidak bisa di kembalikan sejak 1 jam yang lalu. Sekali liat udah tau ini parafimosis. Waktu itu posisinya ketiga dokter fungsionalnya masih belum datang, jadi ya semua bergantung pada dokter muda Tya.
Mbak perawat (MP) : ini kenapa anaknya?
Tya : Parafimosis mbak..
MP : Oh, terapinya gimana mbak?
T : Mesti disirkumsisi mbak..

Emang dodol banget enggak pernah bener-bener belajar tentang ini. Padahal kompetensi 4. Saking ga pernah nemu pasien kayak gini di RSSA (yaialah), jadi bingung mau nerapi apa. Yang terlintas di kepala cuma terapi sirkumsisi. Aja. Terus mau dirujuk. Coba tebak dong mau dirujuk kemana? Ke RSSA biar ada Sp.U.

Dodol dodol. 

Untung surat rujukannya mesti ditandatangani dokter fungsionalnya. Sekitar 30 menit kemudian baru dokter fungsionalnya datang. Aku ga sadar karena lagi ngurus pasien yang lain. Taunya pasien anak tadi langsung diterapi. Saat itu juga. Di puskesmas. Diapain sodara-sodara? Di manual reduksi. Sesimple itu. Dan itu sama sekali enggak terpikir. Inget pernah baca tentang ini aja enggak.

Dodol dodol.

Aku enggak mbayangin gimana kalau pasien ini jadi dirujuk ke RSSA. Bisa dimaki-maki aku sama PPDS uro. Terus jadi bahan gosip seRSSA. Oh my, dibayangin aja ngeri..
Terus aku (BARU) mikir, oh pantes ya parafimosis itu kompetensinya 4. Lagipula kejadiannya juga barusan, masih bisa direduksi manual.

Buat dokter fungsional PKM K*********, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya dok..
😂

ps : nantikan cerita kebodohan Tya part selanjutnya

Minggu, September 18, 2016

Dokter, makasih ya doanya..

RS. Dr Iskak Tulungagung, 13 Februari 2016
Waktu stase poli, datang seorang ibu dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir. Pasien kemudian di USG, ternyata ibu ini keguguran, tapi bayinya masih di dalam kandungan. Istilah kedokterannya missed abortion. Nah kebetulan koass stase Obgyn di Tulungagung diwajibkan bikin 2 laporan kasus. Karena kasusnya cukup full blown, aku minta pasien ini dijadikan laporan kasusku. Otomatis pasien ini nantinya harus aku follow up dari hari pertama ngamar, operasi, sampai pulang.
Sorenya aku mampir ke ruang Melati, buat follow up pasienku dan baca status rekam medisnya.
Pasien (P): Loh dokter kok tau saya disini?
Tya(T): Tadi saya tanya ke perawatnya bu.. Gimana sekarang keadaannya bu? Ada keluhan apa?
P: Sudah enggak ada dokter..
T: Rencananya kapan mau dikuret bu?
P: Katanya sih besok dokter. Tapi enggak dikasi tau jam berapa..
T: Tapi udah disuruh puasa kan bu?
P: Iya nanti jam 2 malam berhenti makan, terus jam setengah 5 mulai puasa minum.. Dokter terima kasih ya supportnya
T: (dalam hati:padahal aku enggak ngapa-ngapain, cuma dateng dan ngobrol-ngobrol.. Itupun karena lapsus). Iya bu.. Sekarang yang penting ibunya sehat ya.. Semoga besok lancar ya bu operasinya.
P: Iya dokter, makasih..
Besoknya enggak sempat follow up, ga sempat juga ikut operasi gara-gara telat turun poli. Pas sampai di OK, operasinya udah selesai. Sedih. Padahal pengen banget ikutan ngeliat operasinya.
Hari ini (13 Februari) stase ruangan. Dan ketemu lagi sama ibu itu waktu ikut visite. Waktu liat aku ibunya langsung senyum dan bilang, 'Dokter, makasih ya doanya..'
Terharuuu..
T: Ibu sekarang keluhannya apa?
P: Sudah enggak ada dok..
T: Enggak keluar darah lagi?
P: Cuma kemaren pas habis operasi keluar darah pas pipis. Terus abis itu udah enggak lagi.
Aku ingat setelah itu, saat aku jalan pulang ke mess sendirian lewat lorong RS dr Iskak yang bersih dan banyak bunga-bunga #apasih, my mind was thinking, 'Begini ya rasanya jadi dokter..'. Walaupun waktu itu aku sama sekali enggak ikut andil dalam diagnosis dan terapi pasien, tapi saat melihat pasien bisa pulih rasanya senang sekali. And imagine how wonderful your life will be, by living this job for the rest of your life!

Minggu, Juli 10, 2016

Kehidupan normal

Apa itu kehidupan normal? Sejak jaman awal kuliah dulu aku selalu mendefinisikan kehidupan normal dengan masa-masa liburan di Kupang. Santai, tanpa tekanan, bebas, Sampai beberapa waktu yang lalu pun definisi hidup normalku masih tetap sama. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ternyata kehidupan normal itu dinamis.
Saat ini aku dalam tahap klinik. Banyaknya tekanan di tahap klinik ini kadang membuat aku lelah. Apalagi sekarang aku di lab IPD, yang terbesar dan (kata orang) terberat. Yang paling ngeselin dari IPD adalah masih ada stase hari sabtu. Selama stase junior aku selalu berharap bisa mendapatkan kembali kehidupan normal "di rumah seharian, tanpa ngapa-ngapain". Dan kemarin, saat (puji Tuhan) dapet libur 2 hari full tanpa jaga tanpa stase, malah bingung mau ngapain. Hari pertama libur masih seneng, tapi hari kedua udah bosen. Apakah itu kehidupan normal? Aku rasa tidak.
Tanpa sadar rutinitas di rumah sakit sudah menjadi kehidupan normalku saat ini. Aku sudah terbiasa jaga malam sambil nyicil membuat MR. Aku sudah terbiasa tidur sambil duduk di pojokan lantai IGD. Aku sudah terbiasa memakai jas lab setiap hari. Aku sudah terbiasa menganamnesis dan memeriksa pasien baru. Aku sudah terbiasa memfollow up pasien setiap pagi. Aku sudah terbiasa dibangunkan tengah malam untuk mengerjakan AP dari PPDS. Aku sudah terbiasa jalan di lorong RSSA tengah malam. Aku sudah terbiasa dengan adrenalin rush tiap kali maju MR, minicex, responsi, maupun ujian akhir suatu lab. Aku sudah terbiasa menyiapkan senyuman inosen (cengengesan lebih tepatnya) saat tidak bisa menjawab pertanyaan dari SPV. Aku sudah terbiasa dengan RSSA. Aku sudah terbiasa jadi dek koass. Aku sudah terbiasa jadi koass IPD.
Sama seperti perubahan yang akan selalu terjadi, demikian pula definisi kehidupan normal akan terus berubah. Sekarang tergantung kita, apakah kita mau mendefinisikan kehidupan normal sesuai kondisi kita saat ini, atau mau tetap terlena dengan kenangan kehidupan normal di masa lalu.
Tya pamit mau nyelesain responsi dulu. Sekian.

Rabu, Mei 25, 2016

Unspoke words

There was no tomorrow
For a soul that gone
There was no tomorrow
For an opportunity that gone

There was no tomorrow
To say the good news
that he is forgiven
that God loves him

There was no tomorrow
I should have known it
There was no tomorrow
I shouldn't judge

It was his fault
It was the curse he got
for all the bad things he done
for all the wrong paths he chose

But there was no tomorrow
For the unspoke words.

Rest in peace
Male/35yo/W.26/SJS+B24

Rabu, Desember 09, 2015

Maaf

Selalu ada cerita baru setelah jaga HCU anak. Kali ini muncul dilema.
Pasien berusia 3 bulan, telah berminggu-minggu dirawat di HCU anak RSSA atas indikasi PJB asianotik dan gagal jantung. Pasien ini pernah aku ceritakan di postingan sebelumnya. Kali ini ceritanya berbeda. Saat aku mengukur TTV, seorang perawat tengah menginformasikan suatu hal kepada ibu pasien ini. Samar-samar terdengar masalah pembiayaan pengobatan pasien. Waktu aku TTV, ibu ini menangis. Kondisi pasien saat itu sudah cukup stabil, dengan saturasi yang cukup tinggi dan menggunakan alat bantu napas non-rebreathing mask (NRBM). Aku sedih. Sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku membayangkan hal-hal yang mungkin terlintas di pikiran ibu tersebut. Tidak mungkin ibu tersebut tega membiarkan semua alat bantu hidup dilepaskan dan membiarkan anaknya meninggal karena hipoksia. Namun mempertahankan hidup dengan bantuan berbagai macam alat kedokteran juga bukan tanpa resiko dan pilihan yang murah. Apalagi pasien ini adalah pasien umum.
Tidak begitu lama setelah aku TTV, datang PPDS bedah. Ternyata pasien ini dikonsulkan ke Lab Bedah untuk pemasangan WSD, atas indikasi pneumothoraks di paru kanan. Pneumothoraks itu resiko tindakan bagging. Selang 1-2 jam setelah pemasangan WSD, tiba-tiba pasien mengalami desaturasi. Waktu aku perkusi, dada kanannya hipersonor. Bad feeling. WSD tidak paten. Aku cek WSD nya, cairannya masih naik turun. Tapi pasien biru, dengan saturasi O2 antara 30-50%. Ibunya sudah nangis-nangis. Akhirnya pasang ETT lagi. Bagging lagi. Tapi karena pasiennya benar-benar kritis, yang bagging langsung PPDS. Itupun saturasi O2nya berkisar di angka 40-50%. Setelah berbagai macam usaha, akhirnya tengah malam pasien meninggal. Sedih. Aku tahu prognosis pasien ini sudah dubia ad malam. Yang bikin paling sedih itu sebelum pulang, ibu pasien salaman sama semua orang di HCU. Termasuk mbak dokter muda Tya.

Oke aku mau pengakuan dosa. Bu, maafkan DM Tya yang lupa TTV setelah pemasangan WSD. Maafkan DM Tya yang malas TTV tiap jam, karena berpikiran setelah dipasangi WSD pasien akan baik-baik saja. Walaupun aku juga tidak tau apakah prognosisnya semakin membaik bila diketahui lebih cepat. Tapi setidaknya bertahanlah selama jam jagaku dek..

Senin, Desember 07, 2015

Koass pun pasti berlalu

Kamu boleh ngantuk. Kamu boleh dehidrasi. Kamu boleh hipoglikemia. Kaki dan tanganmu boleh pegel.
Tapi kamu enggak boleh ngeluh.
Karena malam-malam yang melelahkan ini mungkin akan menjadi malam yang sangat kamu rindukan nanti.
Ya, aku mau memilih untuk menikmati setiap langkah.
Aku suka berjalan menggunakan sendal jepit di rumah sakit ketika bekerja di waktu jaga.
Aku suka berjalan sendiri di lorong RSSA di tengah malam saat mengantar konsulan ke lab lain. Sambil terkadang mencuri pandang ke langit malam untuk melihat bintang atau bulan.
Aku suka priviledge yang aku dapat hanya dengan menggunakan jas lab atau baju jaga dan name tag dokter muda. Aku bisa berjalan ke sudut manapun di rumah sakit tanpa takut dianggap aneh atau ditahan satpam.
Aku suka saat aku dipanggil dengan panggilan yang benar. Terima kasih RSSA untuk pin dokter muda-nya.
Karena koass pun pasti berlalu. Dan aku tidak menyesal, karena aku telah menjalaninya dengan sebaik-baiknya.

Selasa, Desember 01, 2015

Wasn't waste of time

Sudah bertahun-tahun lab IKA dikenal sebagai lab Ilmu Kesehatan Ambubag. Ambubag adalah alat bantu nafas, yang disambungkan dengan selang endotrakeal. Fungsinya untuk mempertahankan jalan nafas dan membantu pernapasan bila terjadi gagal nafas. Ambubag digunakan dengan cara dipompa dengan tangan, disebut juga bagging. Alat ini digunakan karena terbatasnya mesin ventilator dan berlimpahnya pasien anak dengan gagal nafas. Tanpa bantuan nafas lewat ambubag dan selang endotrakeal, bisa ditebak, pasien dapat meninggal dalam waktu beberapa menit.

Sejak berahun-tahun yang lalu, dokter muda yang masuk lab IKA hampir setiap hari berurusan dengan bagging. Bahkan bisa sampai seharian (saat stase dan saat jaga, kurang lebih bisa sampai 36 jam). Sudahlah, tidak usah dibahas bagging itu tugas siapa, maupun siapa yang mendapat uang jasa bagging. Membahas hal-hal tersebut hanya menimbulkan sakit hati.
Berita baiknya, semenjak bulan Agustus kemarin stase tersebut ditiadakan. Dengan demikian tugas bagging hanya dikerjakan dokter muda saat jaga.
Bekerja di ruang HCU anak cukup melelahkan, walaupun pasiennya cukup sedikit (bila penuh 11 pasien) dibandingkan HCU bedah (sekitar 30an pasien). Apalagi bila baggingan lebih dari 2 dan kondisi pasien banyak yang tidak stabil. Setiap jam memeriksa TTV, nebul, dan suction. Baru selesai cek TTV, nebul, dan suction untuk jam 7, jam sudah menunjukkan jam 8.

Sekian pengantarnya, sekarang masuk ke cerita utama. Hari sabtu kemarin jaga malam di HCU anak. Naik jaga udah ngantuk duluan, gegara sebelum jaga jalan-jalan ke MOG sampai jam 3. Baggingan ada 2, dokter mudanya 4. Jadi langsung bagi tugas bagging dan TTV dengan 3 teman lainnya. Aku kebagian bagging dulu. Pasien yang aku bagging anak laki-laki, sekitar 4 tahun, didiagnosa dengue shock syndrome (DSS), pasien demam berdarah yang sedang berada dalam fase kritis. Waktu bagging sambil ngantuk-ngantuk, tiba-tiba ibu pasien datang, dan berbisik ke anaknya. "B****, anakku sayang, cepat sembuh ya nak. Nanti ikut mama jalan-jalan. Yang kuat ya nak, B**** harus bertahan." Ehm, waktu dengar ibu itu ngomong gitu ngantuknya langsung hilang. Ya ampun, aku hampir-hampir lupa kalau anak yang aku bagging ini anaknya orang. Ada orang yang mengasihi dia, ada orang yang akan sangat bersedih bila dia meninggal. Dia anak seseorang. dia masa depan orang tuanya. Dia kebanggaan orang tuanya. Mungkin aku akan jauh lebih sedih dari ibu itu, bila yang terbaring sakit adalah anakku. Dan yang paling bikin nangis, dia mempercayakan hidup anaknya ke tangan seorang koass, seorang koass yang sudah lelah duluan melihat pasien HCU yang ramai dan banyak baggingan, seorang koas yang sering ketiduran waktu bagging, seorang sarjana kedokteran yang minim pengalaman dan pengetahuan. Di sisi lain, pasien DSS hanya butuh bertahan hidup (dan dipertahankan hidupnya oleh tenaga medis) setidaknya selama masa kritisnya, sekitar 48 jam. Saja. Apabila telah melewati masa kritis, bisa dipastikan prognosisnya baik.
Ada lagi pasien lain, bayi laki-laki, dengan gagal jantung karena penyakit jantung bawaan asianotik. Anak ini merupakan anak ketiga. Awalnya pasien terlihat sesak dan sering berhenti saat menyusu. Ibu pasien sudah mengeluhkan sesak pasien ke seorang tenaga kesehatan, namun tenaga kesehatan tersebut terlambat menyadari. Akibatnya pasien terlambat ditangani dan jatuh ke kondisi gagal jantung. "Saya dirujuk kesini dari RS Miriam karena disana alatnya enggak ada. Tapi sampai disini alatnya juga dipakai semua, jadi katanya napasnya mau dibantu manual. Saya enggak ngerti manual itu gimana, tapi nekat aja. Ya ternyata manual itu kayak gini, dipompa pakai tangan. Duh mbak, kemarin itu sering biru, apalagi kalau nangis. Saya pikir emang kayak gini kulitnya, emang jadi tambah hitam. Ternyata biru. Sekarang udah merah saya senang." Pasien ini sadar, bergerak-gerak, kadang bernapas spontan, kadang lupa bernapas. Diakhir jam jaga, tiba-tiba pasien ini arrest. Eman, sudah di bagging semalaman, gak lucu kalau dibungkus. Apalagi setelah tadi sempat ngobrol sama ibunya. Langsung di RJP sama PPDS dan manggil ibu pasien. Deg-degan waktu proses RJP. Duh jangan sampai dibungkus (a.k.a meninggal), jangan sampai pergi dulu please. Apalagi waktu lihat ibunya sudah nangis-nangis. Pengalaman sebelumnya di lab Bedah, kalau sudah di RJP berarti kemungkinan besar bungkus. Eh beberapa menit kemudian saturasi O2 nya naik jadi 90, dan beberapa detik setelahnya mata pasien ketap-ketip dan badannya gerak-gerak. Dek, dek, kamu bikin khawatir saja.

Jaga HCU anak memang melelahkan, tapi aku bersyukur bisa belajar banyak. Waktu yang berlalu tak akan sia-sia, karena kita belajar sesuatu :)

Selasa, Oktober 20, 2015

Through our lives and through our hands..

Instalasi Gawat Darurat RSUD Saiful Anwar, 18 Oktober 2015 04.00 WIB.
2 jam menjelang berakhirnya jaga malam bedah, datang seorang ibu. Pasien non trauma, keadaan umum tampak sakit sedang. Dari inspeksi sudah terlihat jelas kalau ibu ini menderita ca mamma T4dNxMx.
T: ibu ada keluhan apa?
I: ini darahnya enggak berhenti keluar mbak. Di rumah sudah saya coba tutup pakai sofratul dan kasa yang gede-gede tapi tetap enggak berhenti.
Berhubung sudah hampir turun jaga, jadi saya dan teman saya memutuskan untuk rawat luka saat itu, walaupun belum di AP (atas perintah, a.k.a diperintah) PPDS. Toh juga pasti kita yang disuruh rawat luka.
Sambil merawat luka, saya dan teman saya sedikit menganamnesa perjalanan penyakit sang ibu
T: tadi ibu katanya sudah pernah di kemo di sini ya?
I: iya, dulu tahun 2007 di kemo di sini 3 kali, terus katanya mau dioperasi, tapi saya enggak berani.
Menggeram dalam hati. Bu, memangnya sel kanker bisa menghilang begitu saja? Duh percaya aja sama dokter kenapa sih? Puji Tuhan kata-kata itu tetap di dalam hati.
T: dulu benjolannya kayak gimana bu?
I: dulu kecil, enggak kelihatan. Saya di rumah cuma berdua sama anak saya, dia itu juga enggak peduli sama saya. Suami saya juga sudah enggak ada. Makanya saya enggak kontrol. Soalnya rumah saya jauh, enggak ada yg nganterin.
T: Oo.. Gitu ya bu.. Terus tadi kesini sama siapa bu?
I: Sama perawat dari RS Baptis dan sama kakak saya mbak.
Aku berusaha keras untuk tidak menyalahkan dan menambah penyesalan. Walaupun kanker sebenarnya mempunyai prognosis yang cukup baik bila ditangani di stadium awal. Sedih. Masih banyak orang yang belum mengerti tentang kesehatan. Tapi dalam kondisi ini nasi sudah menjadi bubur, tidak ada lagi yang bisa dikerjakan selain terapi paliatif.
Anyway, ceritanya pagi itu baru ikut seminar misi medis perdana di Malang. Disana diingatkan lagi tentang mimpi untuk jadi garam dan terang di rumah sakit. Selama 2 bulan di rumah sakit mimpinya sama sekali belum terlaksana. Alasannya banyak, kalo di IGD capek lah, banyak kerjaan, kaki pegel, nganterin foto ke radiologi, ngisi lembar observasi dll. Kalau di ruangan yang enggak enak diliatin keluarga pasien lain, malas, ngantuk, lebih memilih bercerita dengan teman jaga, dll.
Di fase awal ini aku memilih untuk mempraktekkan prinsip kedokteran nomer 1, primum non nocere (first, do no harm). Okay, hal ini mungkin sudah bisa teratasi. Yang kedua masalah raut muka. Mencoba untuk terus tersenyum disaat kondisi ngantuk, lelah, ada pasien di P1, dan banyak tindakan itu susah. Susah sekali. "Tya kamu kok lemes banget." "Tya kamu sakit ta?". Mukanya Tya memang begini T.T Makanya sejak dari saat itu mulai mencoba menghilangkan muka tapres dan lelah saat jaga.
May we be a people a people of integrity
Being whom we say we are & doing what we say
May we be a people a people with humility
Reconciled to God and man in Jesus name
Bring Your healing to the nation 
through our lives & through our hands
Bring your healing to the nation dear Lord,
change our lives and change our land
May we be a people, a people mending broken lives      
Giving hope to broken world by the Grace of God
May we be a people, a people serving God and man
bringing love and dignity,in Jesus name