Ini ceritanya udah lama sih. Dan setiap kali diingat mesti malu banget. Buanget.
Alkisah di suatu puskesmas di kota Malang, saat aku stase IGD, datanglah seorang anak laki-laki berusia 2-3 tahun dibawa mama papa dan tantenya. Pasien dibawa karena preputiumnya tidak bisa di kembalikan sejak 1 jam yang lalu. Sekali liat udah tau ini parafimosis. Waktu itu posisinya ketiga dokter fungsionalnya masih belum datang, jadi ya semua bergantung pada dokter muda Tya.
Mbak perawat (MP) : ini kenapa anaknya?
Tya : Parafimosis mbak..
MP : Oh, terapinya gimana mbak?
T : Mesti disirkumsisi mbak..
Emang dodol banget enggak pernah bener-bener belajar tentang ini. Padahal kompetensi 4. Saking ga pernah nemu pasien kayak gini di RSSA (yaialah), jadi bingung mau nerapi apa. Yang terlintas di kepala cuma terapi sirkumsisi. Aja. Terus mau dirujuk. Coba tebak dong mau dirujuk kemana? Ke RSSA biar ada Sp.U.
Dodol dodol.
Untung surat rujukannya mesti ditandatangani dokter fungsionalnya. Sekitar 30 menit kemudian baru dokter fungsionalnya datang. Aku ga sadar karena lagi ngurus pasien yang lain. Taunya pasien anak tadi langsung diterapi. Saat itu juga. Di puskesmas. Diapain sodara-sodara? Di manual reduksi. Sesimple itu. Dan itu sama sekali enggak terpikir. Inget pernah baca tentang ini aja enggak.
Dodol dodol.
Aku enggak mbayangin gimana kalau pasien ini jadi dirujuk ke RSSA. Bisa dimaki-maki aku sama PPDS uro. Terus jadi bahan gosip seRSSA. Oh my, dibayangin aja ngeri..
Terus aku (BARU) mikir, oh pantes ya parafimosis itu kompetensinya 4. Lagipula kejadiannya juga barusan, masih bisa direduksi manual.
Buat dokter fungsional PKM K*********, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya dok..
😂
ps : nantikan cerita kebodohan Tya part selanjutnya