Jadi dokter itu gak gampang. Susah banget bahkan. Kita diharuskan untuk berpikir cepat dan tepat, dalam kondisi kritis sekalipun.
Tapi boro-boro mau berpikir cepat, memori materi semester lalu aja udah banyak yang kehapus. Padahal idealnya materi semester lalu masih nyantol lah dikit. Tapi kenyataan sering gak sesuai harapan. Contohnya ini, semester 3 kemaren aku udah dapat materi dermatologi. Tapi, waktu kakiku sendiri melepuh (sekitar 1 bulan yang lalu), aku gak tau mesti ngobatin gimana. Kakiku sendiri loh yang melepuh. Diriku sendiri yang sakit. Gimana mau ngobatin orang lain?
Aku pernah satu kali ditanyain sama temenku. 'Ty, apa sih rahasianya bisa rajin belajar terus?'
Padahal aku ya gak serajin yang terlihat. Aku masih suka mainan, masih suka nonton tv, masih suka ngeblog dan ngepoin blognya orang, masih suka twitteran.
Terus aku jawab, entah jawaban ini muncul dari mana. 'Coba kalian bayangin kalo kalian dapet pasien. Terus kalian gak bisa ngobatin. Kita belajar bukan untuk diri kita, tapi untuk pasien kita nanti.'
Belakangan aku mikir lagi jawabanku itu. Bener juga sih. Kita belajar bukan untuk diri kita sendiri, tapi kita belajar untuk pasien kita nanti. Kita belajar bukan sekedar supaya dapat nilai tinggi dan IPK Cumlaude, tapi supaya lewat kita pasien kita bisa sehat. Sebenernya itulah tujuan utama kita kuliah disini. Ngafalin tanda-tanda klinis, ngafalin nama-nama penyakit, nama-nama obat. Bukan untuk kita, tapi untuk pasien kita.
Untuk kalian, pasien-pasienku. Terimakasih karena bersedia menjadi textbook yang paling mahal yang pernah dan akan aku baca.