Sabtu, Maret 17, 2012

Outbound bersama NCS

outbound adalah kunci
untuk kita naik kelas NCS
walau kadang kena hukuman
tapi kita tetap semangat

menarilah dan jangan menangis
walau kadang kita kena siksa
bersyukurlah pada Yang Kuasa
cinta kakak pembina
selamanya

api menyala halleluya
api menyala
di dalam hatiku
di dalam hatiku

api menyala halleluya
api menyala
kusenang
sungguh senang..

(Lagu perjuangan OUTBOUND New Covenant School di Fatukanutu)

ini memang pengalaman pertama saya mengikuti outbound.
tinggal di hutan, mandi di kali, tidur di tenda, tanpa lampu (kecuali lampu emergency), tanpa tv, tanpa segala sesuatu yang berhubungan dengan listrik, disertai dengan malam yang bertabur bintang.

walaupun lelah, tapi seru !
bolak balik ketawa, menangis, ketawa, menangis lagi. tapi akhirnya ketawa sambil mengingat semua kenangan indah nan lucu..

banyak hal yang saya pelajari disana.
beberapa diantaranya :
  • nilai kekeluargaan
    saya merasakan nilai kekeluargaan yang sangat kental disana. feels like home.. dan saya percaya, persahabatan kami berasal dari Tuhan, dan apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia :)
  • nilai kekompakan
    pada saat seperti itulah, kita dituntut untuk mengesampingkan kepentingan diri sendiri, untuk mencapai suatu kerja sama yang baik. gak kebanyang gimana jadinya kalo saya sendiri yang ngatur tenda, masak, dan mencuci piring. kita perlu bekerja sama, dan untuk itu kita harus kompak :)
  • nilai kebersamaan
    dari awal kita, sekelompok, memang sudah menentukan hal ini. satu rasa semua rasa. satu potong kecil pisang goreng dibagi untuk sekelompok, satu gelas kopi dibagi untuk seluruh peserta outbound, dll. saya belajar untuk peduli pada orang lain dan tidak egois.
  • nilai kesabaran
    sabar menerima segala perintah dari pembina, sabar untuk menghadapi semua tantangan yang diberikan yang didasarkan pada pengertian bahwa semua tantangan yang kami alami berasal dari Tuhan, bertujuan untuk membentuk mental kami menjadi lebih tangguh, dan tantangan yang kami hadapi tidak ada apa-apanya dibanding dengan tantangan yang telah dialami oleh kakak-kakak pembina.
  • nilai kepemimpinan
    saya kebetulan (bukan kebetulan juga sih..) ditunjuk sebagai ketua kelompok. dan awalnya diberitahu, "tugas ketua kelompok kebanyakan hanya mengatur barisan". lega. tapi ternyata, tugas saya LEBIH dari itu. ditambah lagi saya hampir 'buta' PBB (ya masih ngerti sedikit-sedikit, tapi tetep aja). saya belajar bahwa seorang ketua wajib untuk memikirkan semua anggotanya, wajib untuk mendahulukan anggotanya, mengatur kelompoknya, dan harus berani memimpin.
  • dan masih banyak lagi.

dan dari semuanya itu, ada 2 hal yang paling membuat saya malu plus pusing 7 keliling. yaitu tentang nama kelompok dan yel-yel.
bayangkan saja, kami mengganti nama kelompok 2 kali !
*sepertinya tidak usah diceritakan bagaimana 'hancurnya' nama kelompok kami.
singkatnya hal yang saya anggap gampang ternyata malah menjadi masalah besar bagi saya dan kelompok saya.*
dan semua 'aib' itu membuat saya belajar untuk tidak meremehkan sebuah nama. nama itu penting. saya SALAH besar karena dengan santainya menganggap enteng sebuah nama. mencari nama ternyata tidak semudah yang saya pikir.

dan hari ke2 adalah hari yang paling saya ingat
pada hari itu, kami masing-masing diberikan sepotong kecil kertas krep yang diumpamakan sebagai 'nyawa' kami.
kami harus menjaganya sebaik mungkin, dan tidak boleh memberikannya pada siapapun, kecuali pada Tuhan.
setelah itu kami semua diajak berkebun.
setelah selesai berkebun, kami kembali ke tempat perkemahan, dan harus menyebrangi kali terlebih dahulu. di tengah perjalanan pulang itu, seorang kakak pembina menyuruh kami untuk menitipkan 'nyawa' kami padanya.
dan dengan polosnya kami memberikan 'nyawa' kami.
singkat cerita, kami menyadari kesalahan kami.
dan akhirnya bisa ditebak, kami dimarahi.
pada waktu itu saya merasa tidak bertanggung jawab maksudnya, saya ketua kelompok, saya bertanggung jawab atas anggota saya. hal itu cukup (banyak!) menguras pikiran, perasaan, airmata, oksigen, dan ATP.
ditambah lagi, 'nyawa' kelompok kami yang ada di tangan pembina (yaa, itu memang akal-akalan mereka.) hanya 8 'nyawa', sementara kelompok kami berjumlah 9 orang.
"Kamu mau siapa yang tidak dapat 'nyawa'?"
saya diam, berpikir.
'kalau saya mengambil satu, dan mengorbankan seorang anggota saya, tetap saja saya ikut dihukun karena saya tidak bertanggung jawab.' akhirnya,
"saya kak."
saya siap.

'ingat janji Aditya. janji untuk mau dibentuk, kermanapun sakitnya, kermanapun caranya. janji untuk melatih u pung badan yang lemah ini biar nurut dan taat pada Roh! emang untuk apa le u pulang Kupang kalo bukan ini?'

pada akhirnya saya baik-baik saja.'nyawa' saya tidak hilang (kan cuma akal-akalan panitia..)
paling parah hanya mata sembab dan hidung yang mengeluarkan banyak mukus.

saya belajar, bahwa nyawa kita sangat berharga. kita harus menjaga nyawa kita dengan sebaik mungkin. tidak ada seorang pun yang boleh mengambil nyawa kita. Hanya Tuhan yang boleh.

setelah segala tangis dan khotbah panjang lebar, kita langsung main game.
setengah jam kemudian langsung ketawa terbahak-bahak. Ketawa sampai puas
nangis-ketawa-nangis-ketawa

it was a life changing :D

Saya kangen kak Irma, kak Rany, kak Ferda, Vani, Vany S, Itha, Kartini, kak Pola.
Saya kangen semua anak NCS.
Pengen outbound lagi :)
Tunggu saya tahun depan! :D






Aditya Angela Adam
September 2011

Kamis, Januari 05, 2012

The Story of Chacha

Tanggal 23 Desember 2010.
Saya ingat betul hari itu.

hahahaaa..
Hari itu saya mendapatkan hal yang benar-benar saya inginkan.

Sebelumnya saya memang sudah merengek-rengek ke papa mama saya, dari minta baik-baik, sampai nangis-nangis dan guling-guling di tempat tidur.

'ayo pa, ma, belikan aku gitar listrik. toko alat musik? ada kok dekat sini, di si*la.. ayo pa, aku janji gak bakal minta gitar lagi..'
-diterjemahkan dalam bahasa indonesia yang baik dan kurang benar-

Pada hari itu akhirnya papa saya tergerak untuk membelikan saya gitar listrik ^^
~makasih papa :*

Selain itu, saya sangat berterima kasih pada om pemilik toko itu.
Pintar sekali menawar dan merayu papa, sampai akhirnya papa tergerak untuk membeli gitar listrik plus amplifiernya.. :D


this is it :D
I called it chacha
Pertama dari kata gitar, ta => cha => chacha
Dan yang kedua, supaya gak beda jauh sama laptop.
chichi - chacha
#unyu kann.. >.<

Setelah itu saya sangat senang. Hampir setiap hari saya memainkan chacha.
Tapi entah mengapa, saya merasa biasa-biasa saja.
saya tidak begitu merasakan 'gregetnya'.
Tapi saya tetap senang mempunyai chacha.

Sampai sebulan kemudian, in God's presence, at Cempaka, Last Harvest Ministry.
'kasih chacha!'

'Hah?! son salah ni? pasti b salah dengar.'

'kasih chacha!'

'...'
speechless


Dan saya merenung.
Mungkin itu pilihan yang tepat, mereka lebih membutuhkan chacha daripada saya.
Selain itu, setelah saya pikir dan renungkan lebih lagi, selama ini saya hanya menggunakan chacha untuk kesombongan diri saya, kesenangan diri saya sendiri, hanya untuk sekedar keren-kerenan saja.
Chacha di tangan saya mungkin tidak akan pernah berbuah apapun.
Tapi saya yakin, di tangan mereka, chacha tidak akan jadi gitar biasa-biasa saja.
Mereka bisa menggunakan chacha untuk memuliakan nama Tuhan, hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan dengan chacha.

Setelah itu proses berpikir itu, ada satu hal yang menahan saya untuk melepaskan chacha.
Hal itu adalah papa.
Maksudnya, saya sudah merengek-rengek selama ini dan akhirnya papa membelikan saya chacha, lalu saya memberikannya pada orang lain begitu saja?

Saya membutuhkan 2-3 bulan untuk merenung, berpikir, dan mengumpulkan keberanian untuk memberitahukan papa, serta melepaskan chacha.
Tidak untuk selamanya, karena kapanpun yang saya mau, saya bisa meminjam chacha pada mereka, walaupun selama ini belum pernah saya lakukan.

Saya masih mengingat hari dimana saya melepas chacha.
Anehnya, saya merasa lega.
Saya sama sekali tidak menangis. Atau mungkin karena air mata saya untuk chacha sudah saya habiskan sebelumnya :)

'use it well, brothers..'


Saya tau, banyak orang yang menganggap hal yang saya lakukan bodoh.
Tapi saya tahu apa yang saya lakukan.
Saya sudah belajar banyak dari chacha.
Belajar untuk tidak terburu-buru, untuk sabar dan menikmati semua proses, untuk tidak sombong, untuk tidak bergantung pada orang lain ataupun diri sendiri.

Saya percaya Tuhan akan memberikan saya yang terbaik.
Cepat atau lambat, dengan cara Tuhan, bukan cara saya.
Dan saya sekarang sedang menikmati perjalanan untuk menemukan chacha junior.

:D