Jumat, September 22, 2017

Mengabaikan yang harus diabaikan

Setelah UN, aku langsung ke Surabaya buat ikut bimbel SNMPTN. Selama ikut bimbel tinggalnya di rumah oma. Inget banget waktu itu selalu kesel tiap malam karena terganggu suara motor/mobil sliweran di depan rumah. Kesel karena jadi ga fokus belajar. Secara jalan depan rumah Kupang itu jalan buntu (yang sekarang udah ga buntu lagi tapi tetep sepi). Jadinya enggak terbiasa dengan suara kendaraan dengan frekuensi 30-40 kendaraan/menit.
Setelah itu di Malang tinggal di kontrakan A yang persis di perempatan jalan, jalan lumayan rame (banget) soalnya jadi jalan potong dari daerah sigura-gura ke tidar, mungkin frekuensinya 50-100 kendaraan/menit. Beberapa bulan awal tinggal di kontrakan situ rasanya kesel tiap hari. Tiap kali motor lewat kesel, apalagi motor-motor modif yang knalpotnya ga nyatai, rasanya pengen naburin paku di jalan depan rumah (terus bikin usaha tambal ban #eh). Ga fokus belajar, ga bisa denger suara TV, kalo ngomong mesti agak teriak, susah mulai tidur, tengah malem kebangun gara-gara suara motor (dan suara musik dangdutan pos siskamling depan rumah). Ya gitu lah.
Tapi setelah 3 tahun tinggal di kontrakan A, suara kendaraan udah ga mengganggu lagi. Bisa belajar dengan tenang, bisa denger suara TV (ya emang harus digedein sih volumenya), tidur malam tidak terganggu lagi. Suara mengganggu itu lama kelamaan menghilang. Asal fokusku enggak ke suara annoying itu.
Malam ini aku tidur lagi di rumah Oma, 6 tahun setelah bimbel SNMPTN. Rasanya sepi, walaupun motor dan mobil tetap lewat. Iyalah sepi kalau dibandingkan sama kontrakan di Malang.

Ini tergantung fokus kita mau kemana. Tergantung kita mau fokus ke hal yang penting atau ke hal yang tidak penting. Untuk fokus ke hal yang penting, kita harus mengabaikan apa yang harus diabaikan.

Contohnya mungkin fokus ke proposal yang ga selesai-selesai, dan mengabaikan sosmed beberapa minggu ini~