A journey.
Two different worlds.
You spent most of your time immersed in research papers at an overpriced coffee shop. He spent most of his time talking nonsense with his friends.
Love surpasses all, I know.
But tell me, how your worlds become one?
It's either your or his loss.
Stop.
Sabtu, Mei 23, 2020
Kamis, Mei 14, 2020
Let the wave begin
Sebagai dokter jaga UGD RS rujukan Covid-19 di Kota Kupang, the tension is real man. Awal April 2020, sejak ada 2 kasus positif di Indonesia, kunjungan ke UGD secara umum mulai turun drastis. Drastis banget. Sampe kita bisa nari-nari di UGD wkwkwk
Sampai akhir April 2020, ada beberapa pasien masuk yang kita curigai PDP, tapi berakhir dengan rapid test negatif, atau keburu meninggal sebelum di swab. Apalagi waktu itu lab PCR di Kupang masih belum jadi. Swab diambil tapi hasilnya bisa 2 minggu lebih baru ada kabar.
Waktu itu aku pernah jaga, datang pasien batuk-batuk dengan keadaan umum stabil. Karena stabil dan ga ada riwayat bepergian dan kontak, jadinya kita santai, meriksa pasien dengan APD level 1. Anehnya, dia enggak merasa sesak, padahal parunya rhonki full. Saturasinya juga turun 80an. Tapi ga sesak. Langsung aku teringat sama silent ischemic-nya covid. Apalagi pasien ini anamnesanya berubah-ubah, selama ini di rumah saja, menyangkal ada riwayat bepergian dan kontak dengan orang dari luar kota. I got a bad feeling. Ditambah lagi setelah ngeliat thorax AP nya yang bilateral patchy infiltrat. Labnya juga, NLR ratio lebih dari 5,5. Awalnya pasien di bed dekat nurse station, tapi setelah liat hasil rontgen, langsung aku pindahin ke isolasi UGD. Salah satu keputusan yang tidak pernah aku sesali wkwkw.
Setelah konsul ke dokter spesialis, dokternya setuju rapid test. Hasilnya? Non reaktif. Tapi mon maap ni ya tya sudah punya trust issue dengan rapid test. Sensitivitas spesifisitas alatnya ga jelas. Rapid test kek gitu seharusnya gabisa dipakai buat screening. Tapi ya sudahlah ya, udah kadung dibeli juga sama pemerintah.
Pasien ini setelah ditanya-tanya lagi, baru ngaku kalau dari daerah Kabupaten Kupang. Awalnya bilang dari sana ke Kupang naik kapal, terus berubah lagi jadi naik mobil pribadi. Kan mencurigakan. Aku ga tau mau percaya yang mana. Terus bilang kalo ke kupang 2 kali bolak balik. Jadi pertama naik kapal, kedua naik mobil pribadi. Jujur kesel sih waktu itu. Kan jadinya mudah suudzon sama pasien dan keluarga. Nipu ga ya? Bohong ga ya? Tapi kalau memang pasien ini benar-benar jujur dengan riwayat perjalanannya, transmisi lokal bukan hal yang mustahil lagi di Kupang.
Long story short, setelah drama berjam-jam di UGD, pasien ini berhasil masuk ruangan isolasi dengan diagnosa PDP. Tapi sebelum hasil swab keluar, lebih tepatnya 3 hari setelah masuk UGD, pasien meninggal karena sesak nafas.
Abis itu aku langsung dapat instruksi buat isolasi mandiri di rumah sampai 14 hari setelah pasien itu aku terima. Tapi sampai detik postingan ini aku buat, hasil swabnya masih belum ada :)
Hasil PCR yang lama keluarnya, di satu sisi bikin kita agak 'tenang', di sisi lain bikin kita was was juga karena sebagian besar kasus berakhir menjadi misteri. Dan betul juga, setelah lab PCR di Kupang beroperasi, kasus positif di NTT langsung meningkat secara eksponensial. Tidak sampai seminggu, kasus transmisi lokal langsung terdeteksi.
(Me shouting internally) ITU KANNNNNN! SUDAH KU BILANG JANGAN ANGGAP DI KUPANG TIDAK ADA LOCAL TRANSMISSION. SANTAI SAJA TERUS, JALAN-JALAN SAJA TERUS, NONGKRONG-NONGKRONG SAJA TERUS! MALES CUCI TANGAN SAJA TERUS! YES YOUR IGNORANCE IS YOUR BLISS!
Gini lho, mungkin kamu tidak akan sakit berat saat kamu terinfeksi. Tapi bayangkan betapa besar penyesalanmu nanti, kalau orang yang kamu sayang atau ada orang yang terinfeksi dari kamu. Terus sakitnya berat karena ada penyakit penyerta. Terinfeksi dari kamu.
Makanya pakai masker MENUTUPI HIDUNG DAN MULUT! RAJIN CUCI TANGAN!
Pengen deh membalikkan stigma, kalau garda terdepan itu bukan tenaga medis, tapi masyarakat di luar RS. Apa gunanya RS punya alat lengkap dan tenaga medisnya pake APD lengkap, tapi infeksi di masyarakat jalan terus?
Memang tidak ada satupun dari kita yang mau terinfeksi. Tidak ada yang mau masuk ruang isolasi sendirian. Lagi sakit, lagi sesak terus sendirian. Sungguh tidak menyenangkan sama sekali.
Tapi, kita yang kerja di RS juga ga mau ketularan dari pasien. Gimana kalo dokter dan perawat UGD banyak yang ketularan, terus yang jaga UGD sapa dong? Makanya yuk kita kerja sama. Yuk jujur kalau ditanya apapun oleh dokter dan perawat. Yuk jangan menutup-nutupi info. Bukankah yang kita takuti sebenarnya bukan kasus positif, tapi kebohongan?
Setidaknya kalau kita tau ada yang positif, penanganan akan terstandar, aman bagi pasien, aman bagi tenaga medis. Win win solution kan. Lagipula ini juga bukan penyakit yang angka mortalitasnya tinggi. Bisa kok sembuh, bisa kok sehat lagi. Bisa kok enggak menularkan lagi. Asal sabar dan tabah aja, ga sampe sebulan berobat dan jangan kemana-mana dulu.
Bohong itu capek ga sih? Bukankah bohong itu bisa bikin stres, akhirnya imunitas jadi lebih gampang turun karena hormon stres meningkat? Capek kan bohong. Bikin hati ga bisa tenang. Makanya yuk jujur kalau ditanya di UGD. Tapi alangkah lebih baiknya lagi kalau sakit dan ada riwayat yang mengarah ke infeksi Covid-19, jangan langsung ke RS, tapi telpon dulu puskesmas atau RS terdekat, atau sistem telemedicine yang ada di kota masing-masing. Kalo di Kupang kan sudah ada nomor telpon puskesmas terdekat. Nah itu bisa dipake. Modal pulsa 5rb bisa donggg, demi memutus mata rantai infeksi. Another win-win solution.
Btw ini ada link buat prediksi kemungkinan kita kena covid atau enggak, lumayan membantu buat stratifikasi risiko.
http://insomarisuksesgroup.com/tescovid19/home.html
Percayalah, kita akan sangat respek pada pasien yang jujur sama riwayat sakitnya. Sangat amat sangat menghormati. Tapi kalau dibohongin itu rasanya kayak dikhianati, kek ditusuk dari belakang. Sedih, kita juga jadi kepikiran ga bisa tenang di rumah. Sampai takut pulang rumah, takut kelamaan ketemu sama papa mama.
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tapi semangat yang patah mengeringkan tulang. Gimana bisa gembira kalau lagi bohong sodara-sodara?
Jujur ya, supaya hati bisa tenang. Kita ga boleh panik, tapi harus tetap waspada. (INI NGETIK PAKE CAPSLOCK KARENA NGOMONGNYA SAMBIL NGEGAS BIAR MASUK DI ITU KEPALA OTAK.)
TETAP RAJIN CUCI TANGAN 6 LANGKAH, PAKAI MASKER MENUTUPI HIDUNG DAN MULUT SAAT DI LUAR RUMAH, PULANG RUMAH LANGSUNG MANDI DAN GANTI BAJU, ATAU MINIMAL CUCI TANGAN DAN KAKI. JANGAN KELUAR RUMAH KALAU TIDAK PENTING ALIAS CUMA BUAT NONGKRONG-NONGKRONG DAN CERITA BATAPUTAR KUPANG..
Akhir kata,
Ini baru permulaan. Kalau ibarat mau tsunami, bulan April kemaren adalah pas surut-surutnya laut sebelum gelombang besar datang. Bulan mei ini adalah awal gelombang itu muncul.
Aku gatau akan sebesar apa dan sampai kapan, karena semua bergantung pada masyarakat. Ingat kan, masyarakat itu garda terdepan pemutus mata rantai infeksi Covid-19. Yuk saling menjaga satu sama lain.
Semua baik adanya
Sampai akhir April 2020, ada beberapa pasien masuk yang kita curigai PDP, tapi berakhir dengan rapid test negatif, atau keburu meninggal sebelum di swab. Apalagi waktu itu lab PCR di Kupang masih belum jadi. Swab diambil tapi hasilnya bisa 2 minggu lebih baru ada kabar.
Waktu itu aku pernah jaga, datang pasien batuk-batuk dengan keadaan umum stabil. Karena stabil dan ga ada riwayat bepergian dan kontak, jadinya kita santai, meriksa pasien dengan APD level 1. Anehnya, dia enggak merasa sesak, padahal parunya rhonki full. Saturasinya juga turun 80an. Tapi ga sesak. Langsung aku teringat sama silent ischemic-nya covid. Apalagi pasien ini anamnesanya berubah-ubah, selama ini di rumah saja, menyangkal ada riwayat bepergian dan kontak dengan orang dari luar kota. I got a bad feeling. Ditambah lagi setelah ngeliat thorax AP nya yang bilateral patchy infiltrat. Labnya juga, NLR ratio lebih dari 5,5. Awalnya pasien di bed dekat nurse station, tapi setelah liat hasil rontgen, langsung aku pindahin ke isolasi UGD. Salah satu keputusan yang tidak pernah aku sesali wkwkw.
Setelah konsul ke dokter spesialis, dokternya setuju rapid test. Hasilnya? Non reaktif. Tapi mon maap ni ya tya sudah punya trust issue dengan rapid test. Sensitivitas spesifisitas alatnya ga jelas. Rapid test kek gitu seharusnya gabisa dipakai buat screening. Tapi ya sudahlah ya, udah kadung dibeli juga sama pemerintah.
Pasien ini setelah ditanya-tanya lagi, baru ngaku kalau dari daerah Kabupaten Kupang. Awalnya bilang dari sana ke Kupang naik kapal, terus berubah lagi jadi naik mobil pribadi. Kan mencurigakan. Aku ga tau mau percaya yang mana. Terus bilang kalo ke kupang 2 kali bolak balik. Jadi pertama naik kapal, kedua naik mobil pribadi. Jujur kesel sih waktu itu. Kan jadinya mudah suudzon sama pasien dan keluarga. Nipu ga ya? Bohong ga ya? Tapi kalau memang pasien ini benar-benar jujur dengan riwayat perjalanannya, transmisi lokal bukan hal yang mustahil lagi di Kupang.
Long story short, setelah drama berjam-jam di UGD, pasien ini berhasil masuk ruangan isolasi dengan diagnosa PDP. Tapi sebelum hasil swab keluar, lebih tepatnya 3 hari setelah masuk UGD, pasien meninggal karena sesak nafas.
Abis itu aku langsung dapat instruksi buat isolasi mandiri di rumah sampai 14 hari setelah pasien itu aku terima. Tapi sampai detik postingan ini aku buat, hasil swabnya masih belum ada :)
Hasil PCR yang lama keluarnya, di satu sisi bikin kita agak 'tenang', di sisi lain bikin kita was was juga karena sebagian besar kasus berakhir menjadi misteri. Dan betul juga, setelah lab PCR di Kupang beroperasi, kasus positif di NTT langsung meningkat secara eksponensial. Tidak sampai seminggu, kasus transmisi lokal langsung terdeteksi.
(Me shouting internally) ITU KANNNNNN! SUDAH KU BILANG JANGAN ANGGAP DI KUPANG TIDAK ADA LOCAL TRANSMISSION. SANTAI SAJA TERUS, JALAN-JALAN SAJA TERUS, NONGKRONG-NONGKRONG SAJA TERUS! MALES CUCI TANGAN SAJA TERUS! YES YOUR IGNORANCE IS YOUR BLISS!
Gini lho, mungkin kamu tidak akan sakit berat saat kamu terinfeksi. Tapi bayangkan betapa besar penyesalanmu nanti, kalau orang yang kamu sayang atau ada orang yang terinfeksi dari kamu. Terus sakitnya berat karena ada penyakit penyerta. Terinfeksi dari kamu.
Makanya pakai masker MENUTUPI HIDUNG DAN MULUT! RAJIN CUCI TANGAN!
Pengen deh membalikkan stigma, kalau garda terdepan itu bukan tenaga medis, tapi masyarakat di luar RS. Apa gunanya RS punya alat lengkap dan tenaga medisnya pake APD lengkap, tapi infeksi di masyarakat jalan terus?
Memang tidak ada satupun dari kita yang mau terinfeksi. Tidak ada yang mau masuk ruang isolasi sendirian. Lagi sakit, lagi sesak terus sendirian. Sungguh tidak menyenangkan sama sekali.
Tapi, kita yang kerja di RS juga ga mau ketularan dari pasien. Gimana kalo dokter dan perawat UGD banyak yang ketularan, terus yang jaga UGD sapa dong? Makanya yuk kita kerja sama. Yuk jujur kalau ditanya apapun oleh dokter dan perawat. Yuk jangan menutup-nutupi info. Bukankah yang kita takuti sebenarnya bukan kasus positif, tapi kebohongan?
Setidaknya kalau kita tau ada yang positif, penanganan akan terstandar, aman bagi pasien, aman bagi tenaga medis. Win win solution kan. Lagipula ini juga bukan penyakit yang angka mortalitasnya tinggi. Bisa kok sembuh, bisa kok sehat lagi. Bisa kok enggak menularkan lagi. Asal sabar dan tabah aja, ga sampe sebulan berobat dan jangan kemana-mana dulu.
Bohong itu capek ga sih? Bukankah bohong itu bisa bikin stres, akhirnya imunitas jadi lebih gampang turun karena hormon stres meningkat? Capek kan bohong. Bikin hati ga bisa tenang. Makanya yuk jujur kalau ditanya di UGD. Tapi alangkah lebih baiknya lagi kalau sakit dan ada riwayat yang mengarah ke infeksi Covid-19, jangan langsung ke RS, tapi telpon dulu puskesmas atau RS terdekat, atau sistem telemedicine yang ada di kota masing-masing. Kalo di Kupang kan sudah ada nomor telpon puskesmas terdekat. Nah itu bisa dipake. Modal pulsa 5rb bisa donggg, demi memutus mata rantai infeksi. Another win-win solution.
Btw ini ada link buat prediksi kemungkinan kita kena covid atau enggak, lumayan membantu buat stratifikasi risiko.
http://insomarisuksesgroup.com/tescovid19/home.html
Percayalah, kita akan sangat respek pada pasien yang jujur sama riwayat sakitnya. Sangat amat sangat menghormati. Tapi kalau dibohongin itu rasanya kayak dikhianati, kek ditusuk dari belakang. Sedih, kita juga jadi kepikiran ga bisa tenang di rumah. Sampai takut pulang rumah, takut kelamaan ketemu sama papa mama.
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tapi semangat yang patah mengeringkan tulang. Gimana bisa gembira kalau lagi bohong sodara-sodara?
Jujur ya, supaya hati bisa tenang. Kita ga boleh panik, tapi harus tetap waspada. (INI NGETIK PAKE CAPSLOCK KARENA NGOMONGNYA SAMBIL NGEGAS BIAR MASUK DI ITU KEPALA OTAK.)
TETAP RAJIN CUCI TANGAN 6 LANGKAH, PAKAI MASKER MENUTUPI HIDUNG DAN MULUT SAAT DI LUAR RUMAH, PULANG RUMAH LANGSUNG MANDI DAN GANTI BAJU, ATAU MINIMAL CUCI TANGAN DAN KAKI. JANGAN KELUAR RUMAH KALAU TIDAK PENTING ALIAS CUMA BUAT NONGKRONG-NONGKRONG DAN CERITA BATAPUTAR KUPANG..
Akhir kata,
Ini baru permulaan. Kalau ibarat mau tsunami, bulan April kemaren adalah pas surut-surutnya laut sebelum gelombang besar datang. Bulan mei ini adalah awal gelombang itu muncul.
Aku gatau akan sebesar apa dan sampai kapan, karena semua bergantung pada masyarakat. Ingat kan, masyarakat itu garda terdepan pemutus mata rantai infeksi Covid-19. Yuk saling menjaga satu sama lain.
Semua baik adanya