Jumat, Januari 29, 2016

Kitab Ujian

Setiap orang punya kitab ujiannya masing-masing. Sama seperti Adam dan Hawa diuji dengan pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Atau Abraham yang diuji dengan mengorbankan Ishak. Atau Daud yang diuji di zona nyamannya. Ayub diuji dengan kehilangan seluruh hartanya. Yusuf yang difitnah dan dilupakan. Bahkan Tuhan Yesus pun juga diuji saat di padang gurun.
Setiap orang punya kitab ujiannya masing-masing. Namun bukan berarti dalam setiap ujian kita jalani dengan baik. Kitapun bisa jatuh seperti saat Daud jatuh dalam dosa. Kita bisa jatuh, seperti Hawa jatuh saat dia berada di Taman Eden yang masih tidak dikuasai maut. Kitab ujian menguji kehendak bebas kita, sehingga pilihan kita untuk mengasihi Bapa bukan karena kita telah diatur seperti robot.
Aku tahu, tidak sedikit hamba Tuhan yang dulu terlihat sangat 'suci' jatuh. Aku melihat saat mereka masih diatas, dan aku melihat bagaimana mereka jatuh. Aku ingat bagaimana dulu aku begitu 'memuja' mereka. Melihat mereka jatuh, tentu menggetarkan hatiku. Kecewa, mungkin. Di satu sisi mereka juga manusia. Mereka punya kitab ujian. Mereka pun berjuang sama seperti manusia lainnya. Tapi di sisi lain, Bapa sudah memakai mereka untuk kemuliaan namaNya. Lewat mereka, banyak jiwa telah dimenangkan. Lewat alunan nada dan lirik yang diperdengarkan, lewat sapaan dan senyum yang ramah, lewat pengertian Firman Tuhan yang mereka kemukakan. Ya, lewat mereka malaikat di sorga sudah bersorak-sorai ribuan kali.
Siapakah kita untuk menghakimi? Jujur aku dulu suka menghakimi. Namun seiring berjalannya waktu, aku belajar betapa sangat tidak menyenangkannya dihakimi orang lain. Maksudku, sudut pandang manusia terbatas, menjadikannya sulit untuk bisa menilai secara objektif.

Mengandalkan manusia itu mengecewakan. Manusia tidak sempurna. Tapi jika kita mengandalkan Bapa, walaupun ribuan orang (hamba Tuhan) rebah disisi kami, dan ratusan di sisi kiri kami, tapi hati kami tidak menjadi tawar. Sebab Bapa ialah tempat perlindungan kami, dan Yang Maha Tinggi telah kami buat tempat perteduhan kami.

Selasa, Januari 26, 2016

Tidak apa-apa

Suatu malam di saat jaga malam Obgyn di IGD
Tya : lho beneran ta enggak boleh megang perut pasien waktu lagi di NST? Aku enggak tauu..
Teman 1 : halah itu lho cuma dikit (yang rusak), enggak papa kok.
-------
Malam yang lain, saat jaga Obgyn IGD. Ceritanya mau ngambil sampel urin dari urobag buat di cek laboratorium.
Teman 2 : hati-hati muncrat lho
Tya : iya. bantuin pegangin dong (sambil megang urobag yang hampir terisi penuh dan tempat sampel urin)
Teman 2 : iya (megang ujung atas urobag)
Tya : (Ngisi tempat sampel urin sampai 3/4, terus urobagnya enggak bisa ditutup)
Teman 2 : Tutup tutup
Tya : susah, keras (Panik. Urin tumpah. Akhirnya berhasil nutup urobag. Tapi urinnya udah kadung tumpah. Tya pasang senyum inosen) Maaf.. Kena bajumu ga?
Teman 2 : Enggak, enggak papa. Ini minta dibersihin cleaning service aja.. Udah kamu ndang kirim sampelnya.
------
Betapa menyenangkannya jawaban yang menenangkan.
Thank you for being a nice friends.

Senin, Januari 11, 2016

2015

2015.
Yudisium dan wisuda S.Ked. Kuliah Biomedik. Koass.
3 hal yang menggambarkan beberapa perubahan besar yang terjadi di tahun 2015.
Peralihan dari preklinik ke klinik sebelumnya merupakan suatu hal yang sangat aku takuti. Aku takut tidak mampu bertahan selama jam jaga malam. Aku takut bila diharuskan terus berinteraksi dengan orang-orang yang tidak aku sukai. Bayangan tentang kehidupan koass yang tinggi tekanan baik fisik maupun mental tidak pernah berhenti berkeliaran dipikiranku saat membayangkan kehidupan koassku nantinya.
Kuliah biomedik. Mungkin ini bukan pilihan yang tepat. Bahkan sejujurnya aku tidak tahu apa gunanya gelar ini selain untuk mengajar calon mahasiswaku nantinya. Aku ingat sempat membayangkan diriku mengajar tentang proses transkripsi dan translasi di tengah kuliah Bu Dhani tentang transkripsi dan translasi. Walaupun begitu, aku suka belajar sesuatu yang baru. Mengetahui betapa rumitnya tubuh manusia, bahkan dalam satu sel yang tidak kasat mata masih ada zat yang jauh lebih kecil, yang masing-masing mempunyai peran dalam pengaturan fungsi sel. Dimana proses kematian sel yang terjadi dalam waktu beberapa detik melibatkan ratusan bahkan ribuan protein yang saling berinteraksi. Atau proses pembelahan sel yang membutuhkan kerja sama dari berbagai protein terkait, yang bila salah satunya rusak dapat mengakibatkan gagalnya proses pembelahan sel. Haha, sebenarnya 80% ilmu biomedik yang dipelajari sejak Februari - Juni 2015 saat ini sudah menguap entah kemana. Tapi setidaknya aku tahu buku apa yang harus aku buka disaat aku membutuhkan ilmu tersebut.
Kuliah biomedik memaksa area wernickeku belajar untuk merangkai kata dengan baik lewat berbagai tugas makalah. Mungkin anda bisa menyadari betapa berkembangnya perbendaharaan bahasaku sejak 1 tahun terakhir ini. Bukan hanya anda, saya juga merasakan perubahan itu. Kuliah biomedik memaksaku juga untuk terus membuka mata dan menggerakkan jemari tangan untuk mengetik kata demi kata disaat dateline pengumpulan makalah sudah di depan mata. Bila semasa preklinik tidur cukup adalah hal yang utama, di minggu ujian sekalipun, kuliah biomedik mengajarkanku untuk melampaui batas. Tidak apa tidur diatas jam 12, asalkan semua tugas sudah selesai dikerjakan dan semua materi ujian telah dibaca, walaupun dengan dopping caffein peroral.
Koass.
Tak terasa sudah 5 bulan berlalu sejak hari pertama masuk di dunia yang baru ini. Semua hal-hal yang dianggap menakutkan semasa preklinik, nyatanya tidak semenakutkan itu. Ya, koass tidak seberat yang dibayangkan sebelumnya. Aku melihat teman-teman gelombang 1 yang semasa preklinik terbiasa dengan tidur teratur, ternyata mampu bertahan jaga malam. Dan kebanyakan kakak kelas yang mampu bertahan hingga bisa menyelesaikan koass. Setelah dijalani, ternyata Tya kuat begadang semalaman tanpa tidur. Ternyata Tya kuat berkeliaran di IGD RSSA semalaman, walaupun istirahatnya lesehan di pojokan IGD tidak sampai sejam. Koass bukan berarti tanpa istirahat karena banyak celah yang bisa dipakai untuk waktu berisitirahat.
Banyak cerita yang terukir selama 5 bulan menjalani kehidupan sebagai dokter muda di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang. Kesedihan saat mengetahui fakta bahwa pasien trauma dengan kondisi yang sangat buruk, atau pasien anak perempuan manis yang berprognosis dubia ad malam. Air mata yang tertahan dan tenggorokan yang tercekat saat keluarga pasien berterimakasih, pada waktu mereka meninggalkan rumah sakit untuk menguburkan pasien. Terkagum atas proses penyembuhan yang berlangsung sedemikian cepatnya, mampu mengubah anak trauma dengan GCS 112 menjadi sehat dan ceria dengan GCS 456. Geregetan dan perasaan kesal disaat terdengar panggilan 'mbak koaaaass!' atau 'dek koaaaass!' melengking di udara. Sukacita yang luar biasa kala resusitasi cardiac arrest berhasil. Ketegaran saat responsi dan referat hancur berantakan, tapi karena kasih Bapa, supervisor penguji berhati malaikat. Konflik dalam diri saat tanpa sengaja 'membunuh' teman sejawat di depan supervisor. Bahagia disaat bisa punya hari libur santai tanpa jaga, walaupun hanya sehari. Lelahnya kaki dikala jaga malam IGD dengan belasan pasien bedah. Beratnya kepala dan mata disaat menjadi asisten bedah minor pasien P1 IGD yang membutuhkan puluhan jahitan di kulit  kepala. Palpitasi et causa lepasnya ribuan molekul adrenalin di setiap minggu terakhir suatu lab, serta perasaan yang luar biasa lega setelah berhasil melewati semua  ujian. Ya, perasaan lega seperti yang aku rasakan saat ini.
Lima bulan ini berlalu dengan sangat cepat. Kadang aku khawatir, sanggupkah pengalaman selama menjadi koass menjadi bekal praktekku kedepannya? Aku khawatir saking cepatnya waktu berlalu, ilmu itu juga ikut berlalu. Aku khawatir hari-hari patol yang aku jalani sekarang mungkin akan kusesali nantinya.
Tiga lab telah berlalu. Masih ada 12 lab lagi yang akan dijalani selama 16 bulan kedepan. Perjalanan masih panjang. Tapi tenang, koasspun pasti berlalu.

Mbak koass, nanti kalau sudah (merasa diri) koass geriatri, harus ingat hatinya jangan sampai ikutan geriatri dan jadi dingin.

Terima kasih Bapa untuk tahun 2015 :)

Minggu, Desember 27, 2015

Stars

Dari dulu aku suka melihat bintang. Entah bagaimana awalnya. Yang aku ingat dulu sewaktu ikut OSN SMP 2008 dan OSN SMA 2010 milihnya pelajaran antimainstream, Astronomi. Tau saja di Kupang jaman jahilya saat itu, boro-boro guru astronomi seperti di Bandung atau kota lain di Jawa, soal olimpiade tingkat provinsi saja pernah dibahas dengan cara mencari jawaban terbanyak, bukan terbenar. Itu nyata, dan aku ada disana.
Modalku ikut OSN astronomi hanya kumpulan booklet Majalah Bobo tentang astronomi, dan sedikit soal-soal astronomi hasil browsingan di internet (walaupun 99% soal tersebut tidak dipahami juga). Sempat install software khusus astronomi juga, namanya Stellarium. Hasilnya? Tidak begitu memuaskan, tapi tidak buruk juga.
Aku suka memandangi bintang-bintang. Kadang berusaha untuk menghafal beberapa rasi bintang dan nama beberapa bintang. Tapi sekarang sudah lupa lagi. Rasi yang paling diingat Orion karena iklan D*ncow, Crux karena paling gampang dan selalu menunjuk arah selatan, dan Scorpio karena identik dengan bulan November.  Kadang berharap melihat komet atau asteroid yang masuk ke atmosfer bumi, atau ISS yang kebetulan lewat di langit Kupang.
Saking senangnya melihat bintang, dulu sampai gunting-gunting hiasan glow in the dark jadi puluhan, mungkin ratusan, potongan kecil (dan itu kerasnya bukan main). Potongan-potongan itu lalu ditempelin ke kertas minyak, dan kertasnya ditempel ke langit-langit kamar. Jadi setiap mau tidur bisa seakan melihat langit malam di dalam kamar. Rasanya hangat dan menenangkan. Ya, bahagia itu sederhana.
Dan sekarang, LAPAN berencana untuk membangun observatorium nasional di Kupang. Iya di KUPANG! Semua orang yang tertarik ilmu astronomi pasti pengen ke Bosscha di Bandung. Termasuk aku. Tapi sampai detik ini belum pernah ke sana. Waktu tahu kalau di Kupang mau dibangun observatorium, i am super duper exciteddd! You've chosen the right place, Sir!

Menghakimi

Beberapa hari terakhir ini aku sedang banyak belajar tentang menghakimi. Aku tau menghakimi itu haknya Bapa, bukan manusia. Tapi hak itu malah aku ambil sesuka hati. Sesederhana bilang 'otak sapotong' (otak sepotong ~ berpikiran pendek) saat ada orang yang berkendara dengan cara yang (menurutku) tidak benar, atau saat menjudge rekan sejawat patol maupun fisiol.
Aku suka menghakimi, tapi tidak suka dihakimi. Malahan aku orang yang paling sensitif bila dibicarakan orang. Aku takut mendengar bagaimana aku dalam sudut pandang orang lain. Aku takut bila dalam pandangan mereka aku tidak baik. Aku takut bila mereka membahas hal-hal buruk yang aku lakukan, baik yang aku sadari maupun tidak. Sensitif. Tya sangat sensitif.
Contohnya saat beberapa hari yang lalu aku melakukan kesalahan yang cukup fatal, sangat fatal hingga membuatku menjadi potential-public-enemy. Aku takut. Takut sekali. Bodohnya aku. Aku sudah berjanji dalam hatiku, jadi patol atau fisiol itu pilihan, tapi tidak membunuh teman itu kewajiban. Tapi janji itu aku langgar sendiri.
Tanpa sadar aku menghakimi diriku sendiri. Kenapa zona wernicke Tya seakan tidak terhubung dengan mulut? Kenapa aku tidak pernah melakukan hal yang benar? Bagaimana kalau Tya jadi public enemy? Bagaimana kalau Tya jadi bahan pembicaraan semua koass, mengingat tembok RSSA bisa berbicara? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Dan berjuta-juta 'bagaimana kalau..' lainnya, which activated my simpathetic nerves. Tidak bisa tidur dan belajar beberapa hari. Walaupun sudah meminta maaf sesaat setelah melakukan kesalahan tersebut dan beberapa MPE penebusan lainnya, namun perasaan masih saja belum bisa tenang.
The reality is, kebanyakan kekhawatiran tidak terjadi. Di saat itu, aku melihat lagi ke dalam diriku. Tya, mengapa kamu jadi orang yang sangat menyedihkan? Mengapa harus terlarut dalam kesedihan selama ini?
Perlahan aku mencoba untuk memaafkan diriku. Iya kamu salah dulu. Tapi itu dulu. Jangan sampai masa depanmu dinodai oleh masa lalumu. Hari itu aku bangun dengan perasaan yang sangat lega. Seakan terlepas dari penjara intimidasi. Sangat ringan. Walaupun aku tahu, segala sesuatu tidak akan kembali seperti sedia kala.
Aku juga belajar, betapa tidak menyenangkannya dicap oleh orang lain, apalagi kalau dicap untuk sesuatu yang buruk. Aku juga sering menghakimi orang lain. Seperti 'otak sapotong', 'patol', 'jelek', 'bodok', dll. Padahal aku sendiri tidak suka dihakimi. Kesalahan yang aku lakukan membuat aku belajar. Sangat tidak menyenangkan jadi orang yang dihakimi, apalagi dihakimi oleh pihak yang tidak seharusnya. Sangat menyakitkan hati. Seakan Bapa mau bilang, 'kalau tidak mau dihakimi, jangan hakimi orang lain juga.'

Rabu, Desember 09, 2015

Maaf

Selalu ada cerita baru setelah jaga HCU anak. Kali ini muncul dilema.
Pasien berusia 3 bulan, telah berminggu-minggu dirawat di HCU anak RSSA atas indikasi PJB asianotik dan gagal jantung. Pasien ini pernah aku ceritakan di postingan sebelumnya. Kali ini ceritanya berbeda. Saat aku mengukur TTV, seorang perawat tengah menginformasikan suatu hal kepada ibu pasien ini. Samar-samar terdengar masalah pembiayaan pengobatan pasien. Waktu aku TTV, ibu ini menangis. Kondisi pasien saat itu sudah cukup stabil, dengan saturasi yang cukup tinggi dan menggunakan alat bantu napas non-rebreathing mask (NRBM). Aku sedih. Sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku membayangkan hal-hal yang mungkin terlintas di pikiran ibu tersebut. Tidak mungkin ibu tersebut tega membiarkan semua alat bantu hidup dilepaskan dan membiarkan anaknya meninggal karena hipoksia. Namun mempertahankan hidup dengan bantuan berbagai macam alat kedokteran juga bukan tanpa resiko dan pilihan yang murah. Apalagi pasien ini adalah pasien umum.
Tidak begitu lama setelah aku TTV, datang PPDS bedah. Ternyata pasien ini dikonsulkan ke Lab Bedah untuk pemasangan WSD, atas indikasi pneumothoraks di paru kanan. Pneumothoraks itu resiko tindakan bagging. Selang 1-2 jam setelah pemasangan WSD, tiba-tiba pasien mengalami desaturasi. Waktu aku perkusi, dada kanannya hipersonor. Bad feeling. WSD tidak paten. Aku cek WSD nya, cairannya masih naik turun. Tapi pasien biru, dengan saturasi O2 antara 30-50%. Ibunya sudah nangis-nangis. Akhirnya pasang ETT lagi. Bagging lagi. Tapi karena pasiennya benar-benar kritis, yang bagging langsung PPDS. Itupun saturasi O2nya berkisar di angka 40-50%. Setelah berbagai macam usaha, akhirnya tengah malam pasien meninggal. Sedih. Aku tahu prognosis pasien ini sudah dubia ad malam. Yang bikin paling sedih itu sebelum pulang, ibu pasien salaman sama semua orang di HCU. Termasuk mbak dokter muda Tya.

Oke aku mau pengakuan dosa. Bu, maafkan DM Tya yang lupa TTV setelah pemasangan WSD. Maafkan DM Tya yang malas TTV tiap jam, karena berpikiran setelah dipasangi WSD pasien akan baik-baik saja. Walaupun aku juga tidak tau apakah prognosisnya semakin membaik bila diketahui lebih cepat. Tapi setidaknya bertahanlah selama jam jagaku dek..