Senin, Mei 29, 2017

Kebodohan-1

Ini ceritanya udah lama sih. Dan setiap kali diingat mesti malu banget. Buanget.
Alkisah di suatu puskesmas di kota Malang, saat aku stase IGD, datanglah seorang anak laki-laki berusia 2-3 tahun dibawa mama papa dan tantenya. Pasien dibawa karena preputiumnya tidak bisa di kembalikan sejak 1 jam yang lalu. Sekali liat udah tau ini parafimosis. Waktu itu posisinya ketiga dokter fungsionalnya masih belum datang, jadi ya semua bergantung pada dokter muda Tya.
Mbak perawat (MP) : ini kenapa anaknya?
Tya : Parafimosis mbak..
MP : Oh, terapinya gimana mbak?
T : Mesti disirkumsisi mbak..

Emang dodol banget enggak pernah bener-bener belajar tentang ini. Padahal kompetensi 4. Saking ga pernah nemu pasien kayak gini di RSSA (yaialah), jadi bingung mau nerapi apa. Yang terlintas di kepala cuma terapi sirkumsisi. Aja. Terus mau dirujuk. Coba tebak dong mau dirujuk kemana? Ke RSSA biar ada Sp.U.

Dodol dodol. 

Untung surat rujukannya mesti ditandatangani dokter fungsionalnya. Sekitar 30 menit kemudian baru dokter fungsionalnya datang. Aku ga sadar karena lagi ngurus pasien yang lain. Taunya pasien anak tadi langsung diterapi. Saat itu juga. Di puskesmas. Diapain sodara-sodara? Di manual reduksi. Sesimple itu. Dan itu sama sekali enggak terpikir. Inget pernah baca tentang ini aja enggak.

Dodol dodol.

Aku enggak mbayangin gimana kalau pasien ini jadi dirujuk ke RSSA. Bisa dimaki-maki aku sama PPDS uro. Terus jadi bahan gosip seRSSA. Oh my, dibayangin aja ngeri..
Terus aku (BARU) mikir, oh pantes ya parafimosis itu kompetensinya 4. Lagipula kejadiannya juga barusan, masih bisa direduksi manual.

Buat dokter fungsional PKM K*********, terima kasih sudah menyelamatkan nyawa saya dok..
😂

ps : nantikan cerita kebodohan Tya part selanjutnya

Selasa, Mei 09, 2017

Panggung sandiwara (?)

Kehidupan di dunia itu seperti film, setiap orang punya peran dalam cerita. Semuanya terhubung.
Tapi tidak seperti film, tidak ada karakter yang 100% baik ataupun sebaliknya. Semua orang punya sisi baik dan buruk.
Tidak seperti film, pada akhirnya fakta tidak akan pernah benar-benar terbuka. Cerita yang sesungguhnya tidak akan pernah terungkap. Terbatas sudut pandang kita. Terbatas perbedaan pola pikir. Dan pada akhirnya semua rahasia terkubur bersama tubuh yang kaku dan dingin.

Lucu ya. Kita masuk dalam permainan yang mereka rancang. Kita ikut bermain, tanpa tau mengapa dan bagaimana. Kita ikut bermain karena semua orang juga bermain.

Benar juga kata bung Karno. Peperangan kita sekarang melawan saudara sebangsa-dan-setanah-air.

Itu yang terlihat.

Bagaimana dengan yang tidak terlihat? Bukankah itu lebih mematikan? Seperti jutaan spesies bakteri dan virus mematikan. Apakah terlihat mata? Tidak.
Musuh kita yang sebenarnya, adalah kekuatan yang ingin memecah belah bangsa. Apakah terlihat? Tidak.
Musuh kita yang sebenarnya adalah ego kita sendiri. Apakah terlihat? Tidak.

Senin, April 03, 2017

Puskesmas

Puskesmas adalah inovasi terbesar di bidang kesehatan!
Puskesmas dibuat dengan sistem wilayah kerja.  Satu puskesmas bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di kecamatan tersebut. (Hampir) semua masalah kesehatan, mulai dari sakit batuk pilek hingga wabah penyakit harusnya jadi tanggung jawab puskesmas wilayah tersebut.
Dengan konsep puskesmas ini, seharusnya setiap warga negara Indonesia bisa memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan minimal.
Lalu kenapa sekarang puskesmas enggak bisa berfungsi maksimal? Kenapa masih banyak masyarakat yang merasa tidak tersentuh fasilitas kesehatan?
Tenaga kesehatan yang kurang, fasilitas yang terbatas, luas wilayah kerja yang terlalu besar (dengan jumlah penduduk yang sama), dan lain lain.
Aku melihat di poli pengobatan puskesmas, proses penegakan diagnosis dan terapi dilakukan oleh perawat. Yang dulunya tidak diajar untuk menegakkan diagnosa medis.
Kenapa? Karena dokternya kurang. Dokternya ada, tapi kurang.
Kerja di puskesmas itu enak sih, santai, penyakitnya gampang-gampang. Tapi kalo kelamaan bisa bikin otak atropi.
Kerja di puskesmas itu enggak seksi, ga menantang. Puskesmas itu cuma buat batu loncatan, sambil nunggu diterima jadi PPDS.
Emang ada mahasiswa kedokteran jaman sekarang yang cita-citanya jadi dokter fungsional puskesmas? Paling kalo emang pengen kerja di puskesmas, pengennya minimal jadi kepala puskesmas.
X:Tya mau ga kerja di puskesmas?
T:Nanti pas internship di puskesmas 4 bulan kok..
X:Kalau untuk seterusnya?
T: Emmmmmm......
Nih udah kerja di puskesmas, 6 minggu Public Health dan 3 minggu Kedokteran Keluarga

Jumat, Maret 10, 2017

Koass geriatri

Koass geriatri (n):
(1) koass yang sudah melewati 4 lab besar (IPD, Obgyn, Anak, dan Bedah); (2) koass yang akan menyelesaikan masa studi dalam waktu kurang dari 5 bulan.

Koass geriatri disuruh jaga tiap 3 hari. Sebenarnya enggak semua kelompok koass kedokteran keluarga di angkatanku jaga tiap 3 hari. Cuma kelompokku aja. Harusnya sih bisa jaga tiap 4 hari, tapi karena satu dan lain hal, akhirnya kelompokku 'beruntung'. Kalau kelompok puskesmas lain jaganya bisa 4 hari sekali, dengan total jaga 4-5 kali jaga/koass. Sedangkan kelompokku 6-7 kali jaga/koass. Kan kesel.

Tapi kan hidup itu pilihan.
Lets count it as a priviledge. A priviledge to learn more, to use your time wisely, to train your skill, to show yourself that you can (and should) work harder for that big dreams.

Untuk Indonesia Sehat 2050.

Rabu, Maret 01, 2017

Koass Ilmu Penyakit Dalam

Kalau tahap koassku bisa dibagi dua, itu adalah sebelum IPD dan setelah IPD. Sebelum pengumuman jadwal rotasi koass pengennya sih IPD jangan belakang-belakang, takut pas krisis dan personilnya sedikit. Lab ke 2 atau ke 3 lah. Eh taunya IPD jadi lab besar yang paling terakhir (dari total 4 lab besar). Ya sudahlah. Setidaknya enggak bego-bego amat waktu masuk IPD soalnya udah lewat banyak lab.
Jadi angkatan 2011 yang masuk lab IPD terakhir, di saat masih semi krisis karena 2012 yang masuk gelombang 1 koass cuma sedikit.
Minggu pertama IPD langsung stase IGD. Stase cuma bertiga tapi rasa 2 orang, karena satunya koass angkatan 2012 yang baru masuk RSSA. Yang bahkan enggak tau apa itu OB set (reminds me of my first day as koass, langsung koass bedah, dan hari itu langsung jaga IGD. Akhirnya ngekor senior sama anak 2010). Hari pertama masih oke. Hari kedua abis stase langsung naik jaga ruangan. Ditambah stress karena itu jaga IPD pertama dan mesti nyiapin Morning Report buat besok paginya. Mesti nyiapin laporan tertulis, PPT, lembar penilaian dan logbook. Gak usah ditanya gimana gaduh gelisahnya waktu itu. Gaduh gelisah banget. Banget. Apalagi waktu krusial antara jam 6 pagi (turun jaga) sampai 7 pagi (mulai morning report). Itu rasanya semua molekul adrenalin lepas. Setiap tarikan nafas selalu berbeban berat.
"Mana buku ijo, ayo sini kumpulin rek."
"POMRmu udah belom? Ayo ndang dikumpulin di meja spv."
"Lembar penilaian MR mana?"
"PPTnya udah mbok perbaiki belom?"
MR dibantai spv? Sudah biasa.
Abis MR, langsung buru-buru naik stase IGD. Tapi inget belom sarapan, akhirnya mampir beli nasi bungkus di kantin dan makan buru-buru (sambil nangis) di musholla IGD. Kenapa nangis? Karena untuk koass IPD, waktu IGD terasa berjalan sangat lambat. Jam 10 pagi rasanya kaki sudah mau patah, padahal turun stase jam 14.30. Dan jumlah menit total bisa duduk mungkin hanya 60 menit. Sisanya? Jadi setrikaan IGD. Ratusan "dek tolong". Belom juga duduk 5 menit udah di "dek tolong"-in.
Seminggu stase IGD, hampir tiap hari nangis di perjalanan pulang karena kecapekan. Sampai rumah langsung tidur sampai besok pagi. Saking capeknya jadi setrikaan di IGD.
Hmm. IPD pasti berlalu.

Tapi memang cobaan itu seimbang sama berkatnya. Tuhan Yesus baik memang. Beruntung selama jaga IPD junior masih bisa mandi setiap turun jaga, bisa siap MR tepat waktu (walaupun akhirnya tetap dibantai), dapat teman seangkatan yang kooperatif dan anti baper, kewajiban 8x MR bisa terpenuhi. Terus pas stase intermediet juga seneng-seneng aja walaupun tetap jaga tiap 3 hari, pas puasaan jadi enggak bingung cari makan diluar karena dikasi makanan sahur sama buka+takjil. Kalo siang juga bisa makan makanan sahur yang sisa. Duh bahagia. Di stase intermediet juga akhirnya ketemu kardio yang menyenangkan. Kenapa kardionya cuma 2 minggu? :") Terus nemu kamar mandi eksklusif di CVCU, nemu kamar mandi eksklusif (+ air panas. Ini penting) di IGD lantai 3 (yang sekarang udah jadi ICU. Waktu aku IPD masih sepi karena belom dipake ruangannya). Kebayang kan nikmatnya mandi air hangat setelah jaga IPD IGD semalaman. Duh bahagia. Belom lagi pas jaman stase senior, koass IPD dapat kursi singgasana, kursi warna merah yang nyaman banget untuk tidur. Cuma 1 tapi kursinya. Jadi kita gantian tidur di kursi singgasana. Disaat koass jaga yang lain tidur di lantai pojokan IGD, koass IPD duduk santai di singgasana. Ah bahagia.
Juga degdegan pas ujian lab dan ujian lisan. Degdegan dapet penguji siapa. Eh ternyata dapat penguji malaikat. Ujian pertama di hotel Santika karena pas ada seminar, terus dikasi makan siang pula. Enggak dibantai sama sekali. Kalo enggak bisa jawab cuma disenyumin dan disuruh belajar lagi. Ujiannya maju 3 kali, terus postchief.
Ah senangnya postchief IPD.
Tuh kan IPD pasti berlalu

Selasa, Februari 28, 2017

Belajar Menamakan

Beberapa waktu yang lalu ngeliat di playstore ada aplikasi buat baca buku gratis, namanya Amazon Kindle. Terus tertarik install dan download beberapa buku. Tapi sayangnya enggak semuanya gratis. Kebanyakan berbayar. Tapi untungnya yang berbayarpun bisa didownload samplenya beberapa halaman.
Salah satu buku yang aku download adalah buku nya Myles Munroe, Waiting and Dating versi sample. Namanya juga anak muda yang masih galau pasangan hidup. Download bukunya udah cukup lama, sebulan dua bulanan yang lalu lah. Tapi baru dibaca kemarin.

And i found out this part. Pembahasan tentang ayat yang selalu dilompati.

"Consider Adam, the first man, as an example. The second chapter of Genesis shows us a human being who was whole, complete, and content within himself and his companionship with God:
The Lord God formed the man from the dust of the ground and breathed into his nostrils the breath of life, and the man became a living being. Now the Lord God had planted a garden in the east, in Eden; and there He put the man He had formed. And the Lord God made all kinds of trees grow out of the ground—trees that were pleasing to the eye and good for food. In the middle of the garden were the tree of life and the tree of the knowledge of good and evil.…The Lord God took the man and put him in the Garden of Eden to work it and take care of it.…The Lord God said, “It is not good for the man to be alone. I will make a helper suitable for him.”Now the Lord God had formed out of the ground all the beasts of the field and all the birds of the air. He brought them to the man to see what he would name them; and whatever the man called each living creature, that was its name. So the man gave names to all the livestock, the birds of the air and all the beasts of the field. But for Adam no suitable helper was found. So the Lord God caused the man to fall into a deep sleep; and while he was sleeping, He took one of the man’s ribs and closed up the place with flesh. Then the Lord God made a woman from the rib He had taken out of the man, and He brought her to the man (Gen. 2: 7-9,15,18-22).
Before Eve came along, Adam was alone, but he was not lonely. Loneliness is a spiritual disease. Adam was alone because he was the only one of his kind, but he was completely fulfilled as a person. In tending the garden he had meaningful work to do. In his authority over the other living creatures, he was exercising his God-given dominion over the created order. He enjoyed full and open fellowship with his Creator. Adam was so fulfilled within himself and so busy tending the garden and naming and caring for the birds and animals that he never felt the need or desire for a companion, this is called singleness or being single. He was so preoccupied with doing what God had told him to do that he sensed no need for a mate. Apparently, the thought never entered his head. Providing a mate for Adam was God’s idea. Adam was completely self-fulfilled; he was ready for a mate when he did not need one. It is the same way with dating. The time you are most prepared for dating is when you don’t need anyone to complete you, fulfill you, or instill in you a sense of worth or purpose. You are ready to date when you have first learned how to be single."

Jauh sebelum ini Tuhan sudah bikin aku mengerti hal ini.
Bahwa semua ada waktunya. Ada waktu untuk menamakan binatang, ada waktu untuk tidur nyenyak, ada waktu untuk bertemu. Dan kejadian-kejadian tersebut harus berurutan. Tidak boleh dilompati. Karena tanpa belajar menamakan binatang, Adam mungkin tidak bisa memberi nama "Hawa" kepada perempuan tersebut.
Dan sekarang aku di tahap menamakan binatang.
Sekian.
(Daripada tambah mellow ga jelas)