Rabu, Agustus 06, 2014

Update 6 Agustus 2014

Akhirnya mood nulis terkumpul, setelah satu semester seakan mati suri. Padahal banyak ide tulisan yang menumpuk. Salah satu inhibitornya mungkin malu. Iya, malu kalau orang tau apa yang aku pikirkan. Aku hanya tidak terbiasa saat ada orang yang tidak aku harapkan membicarakan postingan blogku di depanku. Seriously, nothing more horrible than heard mama/papa says 'sudah lama mama tidak baca postingan blogmu' or 'tya ni blognya tidak update' -___-" Inhibitor lainnya kesibukan kuliah, skripsi, dan mengurus rumah. Kejenuhan kuliah seakan-akan sudah tidak bisa lagi diatasi. Beruntung ada PMK FKUB yang menyediakan praktek di poli dan bakti sosial di desa-desa. Lumayan membangkitkan semangat belajar. Apalagi waktu baksos paskah beberapa waktu yang lalu aku ketemu pasien yang gatal seluruh badan, tapi ga ada jamur atau penyakit kulit lain. Waktu itu baru masuk blok gastroenterohepatologi. Setelah selesai blok dan mengerjakan soal-soal latihan, jadi tau kalo peningkatan kadar bilirubin bisa menyebabkan gatal-gatal di kulit. Geregetan waktu ingat kasus di baksos. Seandainya sudah tau sejak sebelum baksos pasti tidak akan melewatkan palpasi dan perkusi hepar. Atau merujuk pasien untuk mengecek kadar bilirubin. Kembali ke topik awal. Aku sadar aku bukan orang yang pintar merangkai kata, walaupun aku suka nulis. Kinestetik gerakanku lumayan dominan. Pikiranku adalah raksasa terbesar yang harus aku hadapi. Menulis mungkin bisa menjadi salah satu terapi untuk merapikan pikiranku yang tidak terarah dan berantakan. Itu aja sih. Cuma pengen ngetik hal random dan terus menjaga mood menulis. Anyway, getting excited for KMdN XIX August 12th-17th, 2014 and KLC September 2nd-4th, 2014!

Cukup

cu·kup (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
1 a dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan dsb; tidak kurang
2 a lengkap; genap (umur, waktu, dsb)
3 a sudah memadai (tidak perlu ditambah lagi)
4 a lumayan; sedang;
5 a cak agak kaya; berada; tidak kekurangan
6 adv agak

Dari definisi diatas, cukup itu bergantung kebutuhan dan keinginan.
Cukupkah liburan 77 hari? Relatif. Kalau kebutuhan untuk beristirahat dan bersenang-senang setelah berjuang selama 5 bulan kuliah sepertinya 2 bulan lebih cukup. Apalagi semester 6 adalah semester paling malas dan melelahkan yang pernah aku jalani.
Sejak bulan pertama masuk kuliah saja sudah mulai merencanakan kegiatan liburan. Target-target dibuat, untuk mencegah hal-hal yang mungkin dapat merusak rencana liburan. Puji Tuhan, liburan semester ini, yang adalah liburan tengah tahun terakhir sebelum koas, bisa dinikmati secara utuh tanpa terpotong SP.
Cukupkah liburan hanya di rumah dan di rumah sakit? Tanpa agenda jalan-jalan ke luar kota seperti masa SD, SMP, dan SMA dulu? Ditengah kondisi yang tidak memungkinkan, mencukupkan diri dengan apa yang ada terkadang lebih baik dan memuaskan. Malang-Surabaya-Malang sepertinya cukup. Cukupkah skripsi 80 halaman? Atau perlu tambahan berbagai materi pendukung hipotesis? Cukupkah referensi dari 200 jurnal? Pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan, jangan mengharapkan kesempurnaan dari ilmu yang tidak sempurna. Akan selalu ada kekurangan, akan selalu ada hal yang tidak bisa dijelaskan. Yang terbaik yang bisa kamu lakukan itu cukup. Tidak perlu kesempurnaan. Karena sesempurna apapun tetap akan ada celah pada saat sidang. Tetap ada yang harus direvisi. Kata cukup itu melegakan. Kita dapat berkali-kali berkata cukup pada hal yang tidak menyenangkan dan tidak nyaman, tapi jarang diucapkan saat kita berada di zona nyaman. Cukup itu relatif. Tergantung dari sisi mana kita melihat. Bila kita selalu melihat ke atas, tidak akan pernah terpikir kata cukup. Di minggu ujian, sangat gampang bilang cukup. Di bulan liburan, entah kenapa kata itu sulit diucapkan. Menyenangkan rasanya diam di rumah seharian, nonton tv, tidak ada hal memusingkan yang harus dipikirkan, tidak ada materi kuliah yang harus dibaca, tidak ada rumah kotor yang harus dibersihkan, tidak perlu pusing mau masak apa untuk sarapan. Kondisi yang mudah dijalani. Mungkin saat masuk kuliah nanti akan sedikit sulit mengatakan "Sudah cukup liburannya, sekarang waktunya belajar dan berjuang." Tapi tidak mustahil dikatakan. No matter what, it's a luck to live my life. Aku merasa beruntung, bukan karena aku selalu beruntung, tapi aku mau terus melihat ke bawah. Hey, hidupmu berkecukupan, mengapa mengeluh? Aku tau semuanya karena anugerah Tuhan, bukan karena usahaku sendiri. Karena itulah aku merasa beruntung, dengan kondisi ketidaklayakanku ini. Tetap ada hal-hal baik diantara hal-hal buruk yang aku alami. Keduanya patut disyukuri.
Cukup itu menyenangkan.
Cukup itu melegakan.
Cukup itu cukup.

Aditya Angela Adam
Malang, 2014

Dua Sisi

Dulu sangat mudah menilai sesuatu, persepsi ini benar itu salah sangat mudah diambil tanpa mendalami alasan kenapa ini benar dan itu salah. Karena ini benar, maka itu salah. Titik. Semakin bertambah umur, masalah jadi lebih kompleks. Tidak ada lagi A salah B benar, atau B benar A salah. Mengapa? Karena kita mulai melihat dari dua sisi. Di antara banyak kesalahan pasti ada secercah kebenaran, begitu pula diantara banyak kebenaran terdapat goresan kesalahan.
Belakangan ini aku belajar banyak hal tentang menghakimi. Menjadi penengah diantara 2 pihak yang bermasalah membuat aku sadar kalau ada hal yang mendasari setiap tindakan manusia. Setiap orang benar menurut pemikirannya sendiri. Diantara kedua belah pihak tidak ada yang benar-benar salah dan tidak ada yang benar-benar benar. Semua bertindak benar dan salah. Awalnya membingungkan, seperti mengurai benang kusut. Rasanya ingin menyerah. "Udahlah, digunting aja." Tapi gunting tidak menyelesaikan masalah. Benangnya tetap kusut bahkan tidak lagi tersambung. Tapi pelan-pelan, setelah mendengar dan menilai dua sisi, yang diperlukan hanya pengertian dan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan. Kalau aku ingat lagi, aku bersyukur kepada Tuhan masalah itu sudah kita selesaikan dengan baik.
Selain itu, tahun ini suasana politik Indonesia sedang hangat dibicarakan. Apalagi kalau bukan pemilihan umum legislatif dan presiden. Sebagai pemilih pemula, tentu saja hal ini sangat menarik untuk dibicarakan. Sebelum pemilu presiden beredar banyak berita tentang kejelekan kedua pasangan capres dan cawapres. Rupanya Indonesia mulai menyadari kekuatan media dalam mempengaruhi opini publik. Ribuan akun palsu dibuat, berbagai tulisan di sosial media yang diragukan kebenaran dijadikan acuan. Sampai-sampai tidak bisa dibedakan mana yang benar mana yang salah. Kebenaran dilebih-lebihkan, kesalahan ditutup-tutupi. Pendukung pasangan nomor 1 hanya melihat kebaikan pasangan yang didukungnya, tidak peduli berbagai isu HAM dan kontra demokrasi yang ditujukan ke pasangan tersebut. Begitu pula pendukung pasangan nomor 2 yang sudah menggantungkan harapan besar, walaupun isu intervensi dari luar Indonesia berperan dalam pencalonan pasangan tersebut. Bahkan terlihat sekali ada dua televisi berita yang selama ini netral berubah mendukung masing-masing pasangan capres-cawapres. Aku tidak mengerti hukum, jadi tidak tau apakah hal itu dapat dibenarkan atau tidak. Jangan salahkan kami kalau kami sudah kehilangan kepercayaan pada kedua televisi tersebut.
Setelah pemilihan dilakukan dan hasil quick count muncul, kedua pasangan capres dan cawapres sama-sama menyatakan kemenangannya, tentunya disiarkan di kedua televisi yang mendukung masing-masing pasangan. Belum selesai sampai disini, tanggal 22 Juli, yang digadang-gadang menjadi puncak pemilu, salah satu pasangan tidak menerima hasil perhitungan KPU. Antiklimaks. Itu semacam naik roller coaster, sudah sampai di pintu keluar tapi tiba-tiba roller coasternya bergerak lagi. Puji Tuhan, tidak ada kericuhan atau demonstrasi yang diisukan terjadi setelah pengumuman hasil pemilu. Saat ini hasil pilpres masih diproses di Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada yang benar-benar salah. Pasti ada kecurangan yang dilakukan oleh kedua pasangan. Tapi ini bukan masalah hubungan antar manusia yang bisa diatasi dengan pengertian dan kerendahan hati. Ini masalah kalah dan menang. Menilai mana yang lebih benar diantara kubu yang salah. Hakim-hakim MK menurutku orang-orang yang keren karena bisa menilai hal itu. Jangan biarkan kami berpikir yang sebaliknya, Bapak dan Ibu Hakim.
Sesungguhnya kebenaran yang sempurna hanya milik Tuhan. Manusia, sesempurna apapun, tetaplah punya salah. Jadi hakim itu perkara yang sulit. Menghakimi itu mudah kalau kita hanya melihat dari satu sisi. Yang bijak adalah yang mampu menilai dari berbagai sisi.

Happy growing up!

Senin, Februari 24, 2014

He raise me up

Berulang kali aku jatuh, berulang kali Bapa bersedih saat melihatku.
'Bapa, beta berjanji taat, beta berjanji setia. Be bersedia dibentuk dan diproses.'
Ratusan kali janji ini terucap, tapi daging masih saja lemah. Bukan berusaha mencari kambing hitam. Ah, mungkin juga berusaha mengkambinghitamkan daging.
'Bapa, pukul beta saat be jatuh, hajar beta saat be mulai menyimpang dari Bapa pung jalan..'
Too much distractions. Too much excuses.
'Dingin begini memang paling enak sembunyi di bawah selimut'
'Bapa be bosan'
'Tausa doa ini su e. hari ini doa yang penting-penting sa. Bapa su tau to ini doa pung isi apa.'
'Ini hari bikin apa sa e? Oh, nanti begini, terus begitu, abis itu bikin ini dan itu.'
'Oya kemaren belum tulis pengeluaran di buku catatan. Tulis sekarang sa biar son lupa.'
'Kira-kira kapan e Bapa be ketemu 'dia'? Be pengennya dia ke begini, ke begitu. Orang ke begitu masih ada di ini dunia ko, Bapa?'

Pada akhirnya selalu ada penyesalan
'Coba tadi lu bangun lebih pagi mungkin bisa doa lebih santai dan son perlu terburu-buru ke begini.'
'Makanya Aditya, fokus!'
'....'


Ketakutan mulai muncul. Ya, ketakutan seperti pada waktu Adam dan Hawa berbuat dosa di taman Eden. Dingin. Hampa. Hadirat Bapa perlahan menghilang.

'Bapa kasi tau caranya supaya be bisa fokus. Be su bosan bikin Bapa sedih, be su bosan jauh dari Bapa.'
Diam? Siapa bilang Dia diam? Diwaktu kejatuhanpun Dia tetap berbicara, bahkan suaraNya terdengar jauh lebih keras. Dia berbicara lewat buku yang aku baca. Dia berbicara lewat khotbah ibadah minggu. Dia bahkan mengingatkanku tentang janjiNya bahwa hari itu akan datang, hari dimana Dia membuat sejarah lewatku.
Bukannya memarahi, Dia malah berusaha membuatku tersenyum.
'Coba liat itu awan, Be buat khusus buat lu.'
'Coba liat rumput, sawah, pohon-pohon. Cantik a?'
Suara-Nya lembut, tidak sedikitpun terdengar nada kemarahan.

Lewat buku yang aku baca, Dia menyadarkanku.
Sepanjang hidupku, aku mencari-cari
seorang yang mau mencintaiku
seorang yang mau menerimaku apa adanya
seorang yang akan mengisi hari-hariku
seorang yang akan membuat aku berbahagia

Ketika seseorang datang, kupikir inilah saatnya
tapi akhirnya dia pun pergi
dan ketika cinta itu hilang, ketika segalanya berakhir, aku kembali merasakan kekosongan yang sama
lubang kekurangan kasih membuka lebih lebar
bahkan jauh lebih menyakitkan

Pada waktu itu, aku berkata
Tuhan, aku tahu suatu hari nanti aku akan bahagia
Ketika Kau menyediakan seseorang yang lebih baik
seseorang yang mengasihiku
seseorang yang mau menerimaku
seseorang yang mengerti aku
seseorang yang bisa dipercaya
seseorang yang mau membantuku mengobati luka-luka yang ada
suatu hari nanti, aku akan berbahagia
aku akan berbahagia
nanti,
kapan?!
nanti!

Aku terus menunggu
kapan hari itu datang
aku terus berjalan sambil berharap,
semoga itu terjadi tidak lama lagi
terus menerus aku berjalan dan menunggu
kapan nanti itu datang
kapan aku bisa berbahagia

Sampai akhirnya, aku mendengar IA tertawa
"Anak-Ku, mengapa kau menunggu
sesuatu yang sudah kau miliki?"
Apa maksud-Mu, Tuhan?!
aku mengharapkan seseorang yang akan mengasihiku,
yang akan menerimaku, yang mau peduli denganku
yang akan menyembuhkan luka-luka di hatiku
seseorang yang bisa membuatku bahagia
"Dia sudah datang?"
Belum, Tuhan.
Aku melihat Dia tersenyum lebih lebar
"Belum???"
Rasanya sih belum.
"Bagaimana dengan-Ku?
tidakkah AKU memenuhi kriteriamu?"

Aku terdiam dan berpikir,
aku menatap ke arah-Nya,
melihat mata-Nya yang selalu memandangku
dengan penuh kasih sayang
aku menggenggam tangan-Nya
yang selalu menopangku ketika aku terjatuh
yang menghapus air mataku
aku meraba pergelangan tangan-Nya
tempat DIA dulu dipaku
aku merasakan pelukan-Nya
dan tiba-tiba aku menyadari kebodohanku

Kenapa aku harus menunggu nanti?
aku bisa berbahagia hari ini!!
kenapa aku harus menunggu sampai pasanganku tiba, baru aku bisa berbahagia?!
kenapa aku harus menunggu seorang manusia yang diperanakkan dari dosa,
untuk membuatku berbahagia?
kenapa aku harus menunggu,
jika aku bisa berbahagia hari ini?!!!

Hari ini,
aku bahagia karena aku punya DIA yang mengasihi aku apa adanya
Hari ini,
aku bahagia karena aku punya DIA
yang menerimaku apa adanya
Hari ini aku bahagia karena ada DIA
yang mengobati semua luka-luka dihatiku
Hari ini,
dan bukan nanti

Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar
daripada kebahagiaan hari ini
kebahagiaan kemarin adalah kenangan
kebahagiaan hari depan adalah impian
sedangkan kebahagiaan hari ini,
adalah untuk dinikmati
dan hari ini aku bisa berbahagia
karena aku punya DIA!!

Nanti jika waktunya tiba
aku akan tetap menemukan seseorang
yang akan menemaniku sepanjang sisa hidupku,
tapi kebahagiaan itu, tidak akan lebih besar
dari kebahagiaan yang aku punya
karena aku memiliki-Nya
pasanganku, berbahagia
karena ia pun memiliki DIA
kami akan berbahagia bersama-sama
bukan karena kami saling memiliki
tapi karena kami memiliki DIA
hari ini dan kelak

aku berbahagia
hari ini,
dan bukan nanti
(Grace Suryani, 2002)

I'm dreaming for a man that will love me for who i am. Suatu hari nanti Bapa pasti mempertemukan kita dan seketika keajaiban terjadi. Aku merindukan seorang sosok, yang bisa terlihat dengan mata, diraba dengan tangan, sosok yang nyata dan bukan hayalan.
Aku lupa, Dialah yang menenunku di dalam kandungan ibuku. Mata-Nya melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Nya semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya.
Dia telah lebih dahulu membuktikan cintanya di Kalvari. Dia mati buatku. Dia menanggung semua dosaku, supaya aku dapat bersekutu dengan-Nya. Karena Dia tahu, sebesar apapun usaha manusia tidak ada satupun yang mampu memulihkan hubunganNya dengan manusia. Tidak terlihat bukan berarti Dia tidak ada. He loves me with a divine love. 
Bukankah sebelum Hawa diciptakan Adam adalah ciptaan yang sungguh amat baik? Benarkah aku membutuhkan seseorang? Tidak. Hadirat Tuhanlah yang membuat utuh. Hadirat Tuhanlah yang membuat sempurna.
The Lord is more than enough for me.

Jika bukan TUHAN yang menolong aku, nyaris aku diam di tempat sunyi.
Ketika aku berpikir: "Kakiku goyang," maka kasih setia-Mu, ya TUHAN, menyokong aku.
Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan jiwaku.
Mazmur 94:18-19

Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.
1 Petrus 4:7

Kamis, Desember 12, 2013

Trak dung ces

Nemu ini diantara tumpukan file kuliah semester satu. Ceritanya disuruh bikin surat cinta waktu ikut staf magang LSO AMSA. Antara mau muntah sama ngakak waktu baca lagi. Haha

My hypocampus can't remember the first time i saw you.
all i remember is your shine blinded my retina.
and now you fills my neocortex and limbic system.

You are like a ghost, that activates my sympathetic nerves,
increases the production of adrenalin hormone in my tyroid gland,
and makes my heart palpitation every time i saw you.
Makes my zygomaticus muscularis contraction when i remember you.

every time we met, my orbicularis muscle, levator labii superioris muscle and levator anguli oris muscle always paralyzed.
i don't know either the stimulus just reach my spinal cord, instead of my brain or my hyoid bone suppress my larynx, so the air can't tremble my vocal folds.

if you are not here by my side, i'd instruct all my heart cell to necrosis, rather than apoptosis.
i'll let the inflammation last forever,
because the injury i feel will be an irreversible injury.
i hope you response my stimulus as fast as the heart pumps the blood.
i hope we will be connected like connection of bones in cranium, so no one can seperate us.

all written above is just for fun.

Diabetic Foot

Sebuah percakapan di Poli Bedah RSSA 12 Desember 2013. Sekitar pukul 10 pagi.
Pasien Diabetic Foot riwayat amputasi metatarsal 1,2, dan 3 diantar anaknya untuk kontrol.
Anak Pasien(C): Saya takutnya ini infeksi dok, soalnya dulu tulangnya gak kelihatan. Takutnya malah jadi infeksi kemana-mana.
Dokter (A) : Iya bener bu. Dan kalo tulangnya terinfeksi penyembuhannya juga susah. Jadi kita perlu melakukan pemeriksaan, namanya angiografi untuk melihat pembuluh darahnya masih bagus apa gak. Soalnya pembuluh darah kan yang memberi makan jaringan, kalo pembuluh darahnya rusak sama saja jaringannya gak dapet makanan
C: Iya dok, waktu itu juga pernah mau diperiksakan angiografi, tapi ureum kreatininnya selalu tinggi, akhirnya gak jadi. Setiap bulan kita selalu kontrol rutin, dan ureum kreatininnya selalu tinggi. Gula darahnya udah turun. Oya dok, yang kaki sebelahnya itu seminggu yang lalu kukunya lepas, tapi sekarang lukanya udah kering.
A: Maka itu, takutnya itu proses dari dalam, perlu dicek lebih lanjut dengan arteriografi itu. kalau dari pemeriksaan begini saja tidak bisa kita menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Dan ada kemungkinan operasi lagi
C: Iya dok, gak papa operasi lagi, daripada infeksinya kemana-mana. Tapi Bapak gak mau di opname ya dok. Maunya yang sehari pulang dok.
A: Opname itu kan ada tujuannya, jadi kita mau mengobservasi keadaan Bapak sebelum dioperasi, apakah keadaannya Bapak sudah memungkinkan untuk dioperasi atau belum.
C: Bapak kalau opname gula darahnya malah naik.
Pasien (B): Saya gak mau opname dok, itu lho yang ngambil darah perawat-perawat yang lagi latihan, sakit-sakit semua tangan saya dok.

freeze.
aku vena pungsi aja masih salah-salah, tangan masih suka tremor. apa kabar pasienku nanti? :"

A: Kalau boleh tau kapan terakhir ngecek?
C: Bulan lalu dok, tapi tanggal 28, jadi sekitar 2 minggu yang lalu.
A: Bapak kalau berkenan coba kita periksakan ureum kreatininnya sekarang ya pak. Kalau mau nanti saya kasi surat pengantar untuk pemeriksaan labnya
C: Iya dok, gak papa periksa lagi.
A: Sementara ini dirawat luka dulu, lukanya dibersihin disini saya ya pak. Biar yang item-item dibuang
B: Saya gak mau disini dok. Itu perawatnya kasar, terus antrinya lama. Saya sering nunggu lama. Saya kan tinggi dok, saya lihat ke dalam itu perawat-perawatnya lagi cerita-cerita ketawa-ketawa

Henti nafas 3 detik.
Aku gatau Bapak itu bisa membedakan koas dan perawat. Apalagi membedakan koas dan anak elektif. Ada kemungkinan menurutnya kita perawat

A: Mungkin pasiennya lagi banyak, atau perawatnya lagi sibuk pak (mencoba membela)
B: Enggak dok. Itu ada, lagi cerita-cerita
....

Sebenarnya kasus ini gak berhubungan sama sekali dengan program elektif pilihanku, Bedah Thorak Kardio Vaskular (BTKV). Tapi karena pasien BTKV di poli sedikit (banyaknya di UGD) jadi polinya digabung sama poli umum.
Sudah  4 hari menjalani elektif BTKV, dan yang paling menguras hati itu adalah hari selasa dan kamis, hari poli.
PPDSnya 1-3 orang, kakak-kakak koasnya banyak, mahasiswa elektifnya 8 orang. Dan pasiennya numpuk. Plus polinya sempit.
Kesannya seperti pasiennya numpuk di luar, tapi setelah masuk ke poli 'dikeroyok' sama kita. Kalau aku jadi pasien aku juga mikir, ini dokternya banyak, tapi kok ngantrinya lama. Rumah sakit itu menjemukan, bukan tempat yang disukai semua orang. Bukan tempat yang penuh dengan hiburan. Semua pasien yang datang pasti pengen cepat pulang, pasti gak pengen datang lagi ke rumah sakit. Ditambah dengan keadaan rumah sakit yang 'penuh sesak' seperti itu. 
Tadi sempat terbersit, sanggupkah aku menangani pasien dari awal datang sampai pemulihannya? Sanggupkah belajar di tengah-tengah kondisi RSSA yang seperti ini?
Pasien poli kebanyakan pasien yang kontrol. Dulu sudah pernah datang ke rumah sakit. Masak ya dianamnesis lagi? Dan kalau sakitnya gak parah gak mungkin ke RSSA. Kecuali kalau rumahnya dekat RSSA. Kalau kasusnya ringan dan dapat ditangani dokter umum pastilah kontrolnya di puskesmas.
Sekarang anggap saja kemungkinan terburuk yang terjadi, yang dimaksud sebagai 'perawat' adalah mahasiswa kedokteran. What could we do?
Jadi ingat acara Pengobatan Gratis PMK FK memperingati Paskah 2012 dan 2013. Sehari aja capeknya bukan main. Bukan capek lagi, cuapek. Capek ngomong, capek hati, bosen nunggu antrian, bosen nemenin pasien. Koas ibarat ikut pengobatan gratis selama 2 tahun di rumah sakit. Karena capeknya koas terlihat seperti, maaf, pembawa status pasien dari perawat poli ke dokter PPDS. Gak segan cerita-cerita di depan pasien, gak segan ketawa-ketawa di depan pasien.

Dokter bayangkan-katub-mitral bilang, 'Gak papa ngingetin PPDS atau kakak-kakak koas untuk perkenalan diri, daripada mereka lupa pas UKDI. Mahasiswa itu kebanyakan sungkan'

Gak papa buat dokter, buat dokter-dokter lain atau kakak-kakak koas belum tentu gak papa, dokterrrr ._.

Syudududu, masih jauh Aditya. Tenang, masih jauuuuh.