Dulu waktu pertama kali belajar gimana caranya ngukur tanda-tanda vital
kayak nadi, tekanan darah, respiratory rate, dan suhu badan, rasanya
'wow'. Akhirnya belajar satu skill yang nantinya bakal sering digunakan.
Status 'dokter'-nya kerasa banget. Apalagi yang udah beli tensimeter
dan stetoskop. Pasti orang-orang serumah dijadiin tempat latihan.
Menurut sepenglihatanku, sebagian besar (pokoknya lebih dari 75%)
mahasiswa kedokteran semester 1 pasti udah punya tensimeter dan
stetoskop. Aku termasuk sebagian kecil yang belum punya. Paling selama
ini aku pake yang disediain kampus, pinjem punya kakakku, atau pinjem
punya temenku. Toh walaupun belum punya tensimeter dan stetoskop aku
masih bisa belajar.
Tanggal 14 dan 15 mei kemaren aku jadi relawan di operasi gratis katarak
di RST Soepraoen, Malang. Ngukur tekanan darah puluhan orang tanpa
henti. Dan itu rasanya capeeeeek banget. Awalnya masih lumayan
menyenangkan, tapi setelah 20an orang jenuh mulai muncul. Sampai tangan
ini rasanya gak kuat lagi mompa tensi.
Belum lagi kalo ada pasien yang entah kenapa a.brachialisnya (nadinya)
gak teraba (atau aku yang salah palpasi?), dan muncullah ilmu tebak
menebak. 'Kayaknya tadi aku dengar bunyi detakannya deh, tapi kok gak
jelas?' (pompa lagi) 'duh masih gak jelas, gawat' (pompa lagi) pasien
'berapa dok?'
'bentar ya pak' *panik*
(dalam hati) 'kayaknya segini
deh'.
(ngomong ke pasien) 'bapak tekanan darahnya 140/70..'
Atau cerita lain,
'Biasanya bapak ini tekanan darahnya 170an, tapi kok sekarang jadi 130?
Apa aku yang salah ukur?' Tentunya percakapan ini hanya terjadi
pikiranku. Aku tensi ulang lagi, masih tetap gak jelas. Akhirnya aku ngomong tekanan darahnya 130/70. Terus bapaknya ngomong, 'Ini bener ta mbak? Saya biasanya 170. Kalaupun harus dikasi obat saya mau-mau aja.' Aku antara bingung, panik, capek, bilang 'Tapi tekanan darahnya bapak normal kok, gak perlu dikasi obat.' (sambil tulis rekam medis). Dan pasien itupun berlalu.
Atau tiba-tiba lupa hasil pemeriksaan
'Jadi gini bu, karena tekanan darah ibu tinggi, jadi saya kasi obat
untuk nurunin tekanan darahnya ibu' (lagi KIE pasien, sambil ambil rekam
medis untuk nyatet tekanan darahnya) (dalam hati) 'astaga, tadi berapa
ya? Ohya, 140/100' (tulis)
Atau pengalaman pertama menolak pasien.
Jadi ceritanya gini, kan ada satu ibu yang tekanan darahnya tinggi, terus udah dikasih obat penurun tekanan darahnya. Tapi ternyata setelah satu jam diukur lagi tekanan darahnya tetap tinggi. Karena aku dengar dari dokter disitu besok gak ada operasi lagi (hari itu tanggal 15), jadinya pasien itu aku batalin. Pasien dan pengantarnya agak gak terima. Tapi ya mau gimana lagi. Aku jelasin kalo operasi katarak gratis ada lagi bulan depan. Tahun depan juga ada. Dan kalau mau dipaksain sekarang resiko operasinya gagal malah besar. Jadi mendingan sekarang fokus dulu untuk nurunin tekanan darahnya. Pasien dan pengantarnya pun berlalu.
Sekitar setengah jam atau sejam kemudian, aku dengar omongan panitia operasi gratis itu, kalo ternyata besok masih ada operasi. Sedihhhh banget. Tau gitu aku gak batalin pasien yang tadi. Terus aku tanyain ke dokter yang bilang besok gak ada operasi (dokter itu juga yang nanya ke panitia apa besok masih ada operasi apa gak.) kalo tadi ada satu pasien yang aku batalin. Dokter itu malah bilang gak papa. Rasanya sedih banget. Karena aku pasien itu gak bisa operasi, ibu itu juga udah tua. Sebenarnya dokter yang profesional gak boleh simpati, harus empati. Tapi tetap aja sedih..
Oke move on.
Selain ngukur tekanan darah, aku juga pernah nyobain ngukur gula darah
acak. Cuma 2 atau 3 orang yang aku cek, setelah itu beralih lagi jadi
pengukur tekanan darah.
(masih sibuk persiapan)
'ayo mbak, pasiennya udah nunggu'
'iya pak, bentar lagi'
'Pagi bu' (ambil rekam medis)
'saya ukur gula darahnya ya bu, nanti saya
tusuk dikit aja. Ditahan ya sakitnya' (lap kapas alkohol, tusuk,
ditekan jarinya, darah keluar dikit).
'titit' (alatnya bunyi).
'gula
darahnya 35.'
(tanya ke dokter). 'dok, ini gula darahnya kok rendah
banget?'
(Pak Dokter)'itu pasti darahnya kurang banyak dek.'
'Ohhh..'
(lanjut ngomong ke pasien) 'ibu, saya tusuk ulang ya bu, gak papa ya bu? Hehe'
'iya, gak papa mbak. Orang pengen sembuh kok. Sakitnya pasti ditahan.'
*terharu
Setelah di cek yang kedua kalinya gula darahnya 144, boleh dioperasi :)
Waktu jadi relawan seneng banget rasanya waktu ketemu pasien yang gula
darah dan tekanan darahnya normal. Atau waktu di cek pertama kali
tekanan darahnya tinggi, terus aku kasi obat. Setelah 1 jam kemudian di
cek tekanan darahnya udah turun. Kalau gula darahnya normal berarti
boleh operasi :)
Aku bantu-bantu disana dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang. Cuma 4 jam
dan capek banget. Jadi terpikir gimana nantinya waktu koass, disuruh
jaga IGD, ngukur tanda-tanda vital pasien tiap 5-15menit. Baru 4 jam aja
udah kayak gini, apalagi nanti 36jam (sembilan kali lipatnya).
Hosh, i'm ready for the next challenges and new adventures!
penasaran bakal gimana nanti ceritanya ;D
Anyway, makasih Bapa untuk kesempatan dan pelajaran baru ini :)
I write to express. I write to look back and taste life twice (or thrice, or more!)
Jumat, Mei 17, 2013
Untuk kalian, calon pasienku..
Tahun kedua adalah tahun tersantai, termenyenangkan, sekaligus tahun
dimana aku pertama kalinya merasa terjebak masuk di jurusan pendidikan
dokter. Kalimat 'masuknya gampang, yang susah keluarnya' ternyata bener.
Jadi dokter itu gak gampang. Susah banget bahkan. Kita diharuskan untuk berpikir cepat dan tepat, dalam kondisi kritis sekalipun.
Tapi boro-boro mau berpikir cepat, memori materi semester lalu aja udah banyak yang kehapus. Padahal idealnya materi semester lalu masih nyantol lah dikit. Tapi kenyataan sering gak sesuai harapan. Contohnya ini, semester 3 kemaren aku udah dapat materi dermatologi. Tapi, waktu kakiku sendiri melepuh (sekitar 1 bulan yang lalu), aku gak tau mesti ngobatin gimana. Kakiku sendiri loh yang melepuh. Diriku sendiri yang sakit. Gimana mau ngobatin orang lain?
Aku pernah satu kali ditanyain sama temenku. 'Ty, apa sih rahasianya bisa rajin belajar terus?'
Padahal aku ya gak serajin yang terlihat. Aku masih suka mainan, masih suka nonton tv, masih suka ngeblog dan ngepoin blognya orang, masih suka twitteran.
Terus aku jawab, entah jawaban ini muncul dari mana. 'Coba kalian bayangin kalo kalian dapet pasien. Terus kalian gak bisa ngobatin. Kita belajar bukan untuk diri kita, tapi untuk pasien kita nanti.'
Belakangan aku mikir lagi jawabanku itu. Bener juga sih. Kita belajar bukan untuk diri kita sendiri, tapi kita belajar untuk pasien kita nanti. Kita belajar bukan sekedar supaya dapat nilai tinggi dan IPK Cumlaude, tapi supaya lewat kita pasien kita bisa sehat. Sebenernya itulah tujuan utama kita kuliah disini. Ngafalin tanda-tanda klinis, ngafalin nama-nama penyakit, nama-nama obat. Bukan untuk kita, tapi untuk pasien kita.
Jadi dokter itu gak gampang. Susah banget bahkan. Kita diharuskan untuk berpikir cepat dan tepat, dalam kondisi kritis sekalipun.
Tapi boro-boro mau berpikir cepat, memori materi semester lalu aja udah banyak yang kehapus. Padahal idealnya materi semester lalu masih nyantol lah dikit. Tapi kenyataan sering gak sesuai harapan. Contohnya ini, semester 3 kemaren aku udah dapat materi dermatologi. Tapi, waktu kakiku sendiri melepuh (sekitar 1 bulan yang lalu), aku gak tau mesti ngobatin gimana. Kakiku sendiri loh yang melepuh. Diriku sendiri yang sakit. Gimana mau ngobatin orang lain?
Aku pernah satu kali ditanyain sama temenku. 'Ty, apa sih rahasianya bisa rajin belajar terus?'
Padahal aku ya gak serajin yang terlihat. Aku masih suka mainan, masih suka nonton tv, masih suka ngeblog dan ngepoin blognya orang, masih suka twitteran.
Terus aku jawab, entah jawaban ini muncul dari mana. 'Coba kalian bayangin kalo kalian dapet pasien. Terus kalian gak bisa ngobatin. Kita belajar bukan untuk diri kita, tapi untuk pasien kita nanti.'
Belakangan aku mikir lagi jawabanku itu. Bener juga sih. Kita belajar bukan untuk diri kita sendiri, tapi kita belajar untuk pasien kita nanti. Kita belajar bukan sekedar supaya dapat nilai tinggi dan IPK Cumlaude, tapi supaya lewat kita pasien kita bisa sehat. Sebenernya itulah tujuan utama kita kuliah disini. Ngafalin tanda-tanda klinis, ngafalin nama-nama penyakit, nama-nama obat. Bukan untuk kita, tapi untuk pasien kita.
Untuk kalian, pasien-pasienku. Terimakasih karena bersedia menjadi textbook yang paling mahal yang pernah dan akan aku baca.
Jumat, Maret 08, 2013
9 Legend's of Mercusuar Christian SENIOR High School :D
I think this was our first photo :)
Foto bersama kelinci yang hidupnya berakhir di meja Praktikum
Mamalia (baca: 'pembantaian'). Dia dibunuh dan diperlakukan dengan cara
yang amat teramat sangat tidak etis. Semoga engkau tenang disana. Dan
terima kasih telah membawa sedikit kebahagiaan bagi kami :)
edited by Nia
Berfoto setelah ujian praktek Drama. Edited by Nia. Sampai detik ini masih gak ngerti apa maksudnya tulisan (FAA <3) ._.
webcam-an. maklum, SMA sering nganggur ._.
English Debate Competition :D
Berkelana, mewawancarai, dan berfoto-foto demi tugas bahasa inggris dari miss Cece
Another "praktikum". Kali ini praktikum Kingdom Pisces. Namanya aja yang praktikum, setelah itu gak pernah bikin laporan praktikum. Semacam seru-seruan untuk murid yang kurang kerjaan -_-
Jalan sehat 17 Agustus-an :D
Praktikum Amfibi. It explains much about our 'kurang-kerjaan'
And finally, our graduation day, minus Jeje. Each happy ending is a brand new beginning :D
By the way, do you still keep this thing guys? :)
Time Trick
Libur semester 3 :D
Memberikan banyak waktu untuk
beristirahat, merenung, dan berpikir (hal yang sangat jarang dilakukan saat
kuliah)
Sela
Setiap kali jalan-jalan
sekeluarga, aku selalu berpikir kalo ini semua cuma suatu perjalanan panjang,
dan akhirnya kami sekeluarga akan kembali ke Kupang untuk menjalani hidup kami
sehari-hari. Tapi aku salah. Ini kehidupan sehari-hari saya, sebagai mahasiswi
fakultas kedokteran. Selangkah lebih dekat dengan profesi dokter.
Aku selalu berpikir ini semua
mimpi. Mimpi yang akan segera berakhir.
Semua sudah berubah.
Dan hal yang sangat
menyesakkan dada adalah mendapati kalau rumah yang dulunya adalah sebuah 'home'
sekarang berubah menjadi sekedar 'house'. Kosong. Seperti tak berpenghuni. Rasa
sesak bertambah dengan tidak adanya orang yang peduli untuk merawat rumah yang
mengandung berjuta kenangan itu.
Awalnya jadi sering nangis
dan meratapi kenyataan. Hati bagaruk. Talalu bagaruk.
Tapi setelah dipikir-pikir,
ini kenyataan yang harus aku hadapi. Jangan dihabiskan untuk meratap!
Jalan-jalan ke SMA & SMP
Mercusuar, cari teman-teman lama, cerita-cerita, berusaha menyibukkan diri
dengan berbagai aktifitas.
Akhirnya aku sampai pada satu
kesimpulan, bahwa sebuah 'home' bisa diciptakan dimana saja. 'Home' tidak
selalu identik dengan bangunan, tapi tempat dimana kita merasa nyaman, kita
bisa diterima dengan segala kelebihan dan kekurangan kita, serta yang terlebih
penting disana ada orang-orang yang menyayangi kita dan yang kita sayang.
"Untuk segala sesuatu
ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
Ada waktu untuk lahir, ada
waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang
ditanam;
ada waktu untuk membunuh, ada
waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
ada waktu untuk menangis, ada
waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
ada waktu untuk membuang
batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu
untuk menahan diri dari memeluk;
ada waktu untuk mencari, ada
waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk
membuang;
ada waktu untuk merobek, ada
waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
ada waktu untuk mengasihi,
ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
Apakah untung pekerja dari
yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
Aku telah melihat pekerjaan
yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
Ia membuat segala sesuatu
indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi
manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai
akhir.
Aku tahu bahwa untuk mereka
tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam
hidup mereka.
Dan bahwa setiap orang dapat
makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga
adalah pemberian Allah.
Aku tahu bahwa segala sesuatu
yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan
tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan
Dia."
Pengkhotbah 3:1-14
Bapa, ajar kami untuk bisa
memanfaatkan waktu dengan baik.
Sabtu, Maret 17, 2012
Outbound bersama NCS
outbound adalah kunci
untuk kita naik kelas NCS
walau kadang kena hukuman
tapi kita tetap semangat
menarilah dan jangan menangis
walau kadang kita kena siksa
bersyukurlah pada Yang Kuasa
cinta kakak pembina
selamanya
api menyala halleluya
api menyala
di dalam hatiku
di dalam hatiku
api menyala halleluya
api menyala
kusenang
sungguh senang..
untuk kita naik kelas NCS
walau kadang kena hukuman
tapi kita tetap semangat
menarilah dan jangan menangis
walau kadang kita kena siksa
bersyukurlah pada Yang Kuasa
cinta kakak pembina
selamanya
api menyala halleluya
api menyala
di dalam hatiku
di dalam hatiku
api menyala halleluya
api menyala
kusenang
sungguh senang..
(Lagu perjuangan OUTBOUND New Covenant School di Fatukanutu)
ini memang pengalaman pertama saya mengikuti outbound.
tinggal di hutan, mandi di kali, tidur di tenda, tanpa lampu (kecuali lampu emergency), tanpa tv, tanpa segala sesuatu yang berhubungan dengan listrik, disertai dengan malam yang bertabur bintang.
walaupun lelah, tapi seru !
bolak balik ketawa, menangis, ketawa, menangis lagi. tapi akhirnya ketawa sambil mengingat semua kenangan indah nan lucu..
banyak hal yang saya pelajari disana.
beberapa diantaranya :
- nilai kekeluargaan
saya merasakan nilai kekeluargaan yang sangat kental disana. feels like home.. dan saya percaya, persahabatan kami berasal dari Tuhan, dan apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia :) - nilai kekompakan
pada saat seperti itulah, kita dituntut untuk mengesampingkan kepentingan diri sendiri, untuk mencapai suatu kerja sama yang baik. gak kebanyang gimana jadinya kalo saya sendiri yang ngatur tenda, masak, dan mencuci piring. kita perlu bekerja sama, dan untuk itu kita harus kompak :) - nilai kebersamaan
dari awal kita, sekelompok, memang sudah menentukan hal ini. satu rasa semua rasa. satu potong kecil pisang goreng dibagi untuk sekelompok, satu gelas kopi dibagi untuk seluruh peserta outbound, dll. saya belajar untuk peduli pada orang lain dan tidak egois. - nilai kesabaran
sabar menerima segala perintah dari pembina, sabar untuk menghadapi semua tantangan yang diberikan yang didasarkan pada pengertian bahwa semua tantangan yang kami alami berasal dari Tuhan, bertujuan untuk membentuk mental kami menjadi lebih tangguh, dan tantangan yang kami hadapi tidak ada apa-apanya dibanding dengan tantangan yang telah dialami oleh kakak-kakak pembina. - nilai kepemimpinan
saya kebetulan (bukan kebetulan juga sih..) ditunjuk sebagai ketua kelompok. dan awalnya diberitahu, "tugas ketua kelompok kebanyakan hanya mengatur barisan". lega. tapi ternyata, tugas saya LEBIH dari itu. ditambah lagi saya hampir 'buta' PBB (ya masih ngerti sedikit-sedikit, tapi tetep aja). saya belajar bahwa seorang ketua wajib untuk memikirkan semua anggotanya, wajib untuk mendahulukan anggotanya, mengatur kelompoknya, dan harus berani memimpin. - dan masih banyak lagi.
dan dari semuanya itu, ada 2 hal yang paling membuat saya malu plus pusing 7 keliling. yaitu tentang nama kelompok dan yel-yel.
bayangkan saja, kami mengganti nama kelompok 2 kali !
*sepertinya tidak usah diceritakan bagaimana 'hancurnya' nama kelompok kami.
singkatnya hal yang saya anggap gampang ternyata malah menjadi masalah besar bagi saya dan kelompok saya.*
dan semua 'aib' itu membuat saya belajar untuk tidak meremehkan sebuah nama. nama itu penting. saya SALAH besar karena dengan santainya menganggap enteng sebuah nama. mencari nama ternyata tidak semudah yang saya pikir.
dan hari ke2 adalah hari yang paling saya ingat
pada hari itu, kami masing-masing diberikan sepotong kecil kertas krep yang diumpamakan sebagai 'nyawa' kami.
kami harus menjaganya sebaik mungkin, dan tidak boleh memberikannya pada siapapun, kecuali pada Tuhan.
setelah itu kami semua diajak berkebun.
setelah selesai berkebun, kami kembali ke tempat perkemahan, dan harus menyebrangi kali terlebih dahulu. di tengah perjalanan pulang itu, seorang kakak pembina menyuruh kami untuk menitipkan 'nyawa' kami padanya.
dan dengan polosnya kami memberikan 'nyawa' kami.
singkat cerita, kami menyadari kesalahan kami.
dan akhirnya bisa ditebak, kami dimarahi.
pada waktu itu saya merasa tidak bertanggung jawab maksudnya, saya ketua kelompok, saya bertanggung jawab atas anggota saya. hal itu cukup (banyak!) menguras pikiran, perasaan, airmata, oksigen, dan ATP.
ditambah lagi, 'nyawa' kelompok kami yang ada di tangan pembina (yaa, itu memang akal-akalan mereka.) hanya 8 'nyawa', sementara kelompok kami berjumlah 9 orang.
"Kamu mau siapa yang tidak dapat 'nyawa'?"
saya diam, berpikir.
'kalau saya mengambil satu, dan mengorbankan seorang anggota saya, tetap saja saya ikut dihukun karena saya tidak bertanggung jawab.' akhirnya,
"saya kak."
saya siap.
'ingat janji Aditya. janji untuk mau dibentuk, kermanapun sakitnya, kermanapun caranya. janji untuk melatih u pung badan yang lemah ini biar nurut dan taat pada Roh! emang untuk apa le u pulang Kupang kalo bukan ini?'
pada akhirnya saya baik-baik saja.'nyawa' saya tidak hilang (kan cuma akal-akalan panitia..)
paling parah hanya mata sembab dan hidung yang mengeluarkan banyak mukus.
saya belajar, bahwa nyawa kita sangat berharga. kita harus menjaga nyawa kita dengan sebaik mungkin. tidak ada seorang pun yang boleh mengambil nyawa kita. Hanya Tuhan yang boleh.
setelah segala tangis dan khotbah panjang lebar, kita langsung main game.
setengah jam kemudian langsung ketawa terbahak-bahak. Ketawa sampai puas
nangis-ketawa-nangis-ketawa
it was a life changing :D
Saya kangen kak Irma, kak Rany, kak Ferda, Vani, Vany S, Itha, Kartini, kak Pola.
Saya kangen semua anak NCS.
Pengen outbound lagi :)
Tunggu saya tahun depan! :D
Aditya Angela Adam
September 2011
Kamis, Januari 05, 2012
The Story of Chacha
Tanggal 23 Desember 2010.
Saya ingat betul hari itu.
hahahaaa..
Hari itu saya mendapatkan hal yang benar-benar saya inginkan.
Sebelumnya saya memang sudah merengek-rengek ke papa mama saya, dari minta baik-baik, sampai nangis-nangis dan guling-guling di tempat tidur.
'ayo pa, ma, belikan aku gitar listrik. toko alat musik? ada kok dekat sini, di si*la.. ayo pa, aku janji gak bakal minta gitar lagi..'
-diterjemahkan dalam bahasa indonesia yang baik dan kurang benar-
Pada hari itu akhirnya papa saya tergerak untuk membelikan saya gitar listrik ^^
~makasih papa :*
Selain itu, saya sangat berterima kasih pada om pemilik toko itu.
Pintar sekali menawar dan merayu papa, sampai akhirnya papa tergerak untuk membeli gitar listrik plus amplifiernya.. :D
this is it :D
I called it chacha
Pertama dari kata gitar, ta => cha => chacha
Dan yang kedua, supaya gak beda jauh sama laptop.
chichi - chacha
#unyu kann.. >.<
Setelah itu saya sangat senang. Hampir setiap hari saya memainkan chacha.
Tapi entah mengapa, saya merasa biasa-biasa saja.
saya tidak begitu merasakan 'gregetnya'.
Tapi saya tetap senang mempunyai chacha.
Sampai sebulan kemudian, in God's presence, at Cempaka, Last Harvest Ministry.
'kasih chacha!'
'Hah?! son salah ni? pasti b salah dengar.'
'kasih chacha!'
'...'
speechless
Dan saya merenung.
Mungkin itu pilihan yang tepat, mereka lebih membutuhkan chacha daripada saya.
Selain itu, setelah saya pikir dan renungkan lebih lagi, selama ini saya hanya menggunakan chacha untuk kesombongan diri saya, kesenangan diri saya sendiri, hanya untuk sekedar keren-kerenan saja.
Chacha di tangan saya mungkin tidak akan pernah berbuah apapun.
Tapi saya yakin, di tangan mereka, chacha tidak akan jadi gitar biasa-biasa saja.
Mereka bisa menggunakan chacha untuk memuliakan nama Tuhan, hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan dengan chacha.
Setelah itu proses berpikir itu, ada satu hal yang menahan saya untuk melepaskan chacha.
Hal itu adalah papa.
Maksudnya, saya sudah merengek-rengek selama ini dan akhirnya papa membelikan saya chacha, lalu saya memberikannya pada orang lain begitu saja?
Saya membutuhkan 2-3 bulan untuk merenung, berpikir, dan mengumpulkan keberanian untuk memberitahukan papa, serta melepaskan chacha.
Tidak untuk selamanya, karena kapanpun yang saya mau, saya bisa meminjam chacha pada mereka, walaupun selama ini belum pernah saya lakukan.
Saya masih mengingat hari dimana saya melepas chacha.
Anehnya, saya merasa lega.
Saya sama sekali tidak menangis. Atau mungkin karena air mata saya untuk chacha sudah saya habiskan sebelumnya :)
'use it well, brothers..'
Saya tau, banyak orang yang menganggap hal yang saya lakukan bodoh.
Tapi saya tahu apa yang saya lakukan.
Saya sudah belajar banyak dari chacha.
Belajar untuk tidak terburu-buru, untuk sabar dan menikmati semua proses, untuk tidak sombong, untuk tidak bergantung pada orang lain ataupun diri sendiri.
Saya percaya Tuhan akan memberikan saya yang terbaik.
Cepat atau lambat, dengan cara Tuhan, bukan cara saya.
Dan saya sekarang sedang menikmati perjalanan untuk menemukan chacha junior.
:D
Saya ingat betul hari itu.
hahahaaa..
Hari itu saya mendapatkan hal yang benar-benar saya inginkan.
Sebelumnya saya memang sudah merengek-rengek ke papa mama saya, dari minta baik-baik, sampai nangis-nangis dan guling-guling di tempat tidur.
'ayo pa, ma, belikan aku gitar listrik. toko alat musik? ada kok dekat sini, di si*la.. ayo pa, aku janji gak bakal minta gitar lagi..'
-diterjemahkan dalam bahasa indonesia yang baik dan kurang benar-
Pada hari itu akhirnya papa saya tergerak untuk membelikan saya gitar listrik ^^
~makasih papa :*
Selain itu, saya sangat berterima kasih pada om pemilik toko itu.
Pintar sekali menawar dan merayu papa, sampai akhirnya papa tergerak untuk membeli gitar listrik plus amplifiernya.. :D
this is it :D
I called it chacha
Pertama dari kata gitar, ta => cha => chacha
Dan yang kedua, supaya gak beda jauh sama laptop.
chichi - chacha
#unyu kann.. >.<
Setelah itu saya sangat senang. Hampir setiap hari saya memainkan chacha.
Tapi entah mengapa, saya merasa biasa-biasa saja.
saya tidak begitu merasakan 'gregetnya'.
Tapi saya tetap senang mempunyai chacha.
Sampai sebulan kemudian, in God's presence, at Cempaka, Last Harvest Ministry.
'kasih chacha!'
'Hah?! son salah ni? pasti b salah dengar.'
'kasih chacha!'
'...'
speechless
Dan saya merenung.
Mungkin itu pilihan yang tepat, mereka lebih membutuhkan chacha daripada saya.
Selain itu, setelah saya pikir dan renungkan lebih lagi, selama ini saya hanya menggunakan chacha untuk kesombongan diri saya, kesenangan diri saya sendiri, hanya untuk sekedar keren-kerenan saja.
Chacha di tangan saya mungkin tidak akan pernah berbuah apapun.
Tapi saya yakin, di tangan mereka, chacha tidak akan jadi gitar biasa-biasa saja.
Mereka bisa menggunakan chacha untuk memuliakan nama Tuhan, hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan dengan chacha.
Setelah itu proses berpikir itu, ada satu hal yang menahan saya untuk melepaskan chacha.
Hal itu adalah papa.
Maksudnya, saya sudah merengek-rengek selama ini dan akhirnya papa membelikan saya chacha, lalu saya memberikannya pada orang lain begitu saja?
Saya membutuhkan 2-3 bulan untuk merenung, berpikir, dan mengumpulkan keberanian untuk memberitahukan papa, serta melepaskan chacha.
Tidak untuk selamanya, karena kapanpun yang saya mau, saya bisa meminjam chacha pada mereka, walaupun selama ini belum pernah saya lakukan.
Saya masih mengingat hari dimana saya melepas chacha.
Anehnya, saya merasa lega.
Saya sama sekali tidak menangis. Atau mungkin karena air mata saya untuk chacha sudah saya habiskan sebelumnya :)
'use it well, brothers..'
Saya tau, banyak orang yang menganggap hal yang saya lakukan bodoh.
Tapi saya tahu apa yang saya lakukan.
Saya sudah belajar banyak dari chacha.
Belajar untuk tidak terburu-buru, untuk sabar dan menikmati semua proses, untuk tidak sombong, untuk tidak bergantung pada orang lain ataupun diri sendiri.
Saya percaya Tuhan akan memberikan saya yang terbaik.
Cepat atau lambat, dengan cara Tuhan, bukan cara saya.
Dan saya sekarang sedang menikmati perjalanan untuk menemukan chacha junior.
:D
Langganan:
Postingan (Atom)